
Kasus Pemerasan Sertifikasi K3 di Kemenaker, Tersangka Diduga Terkait dengan Pegawai KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan bahwa salah satu tersangka dalam kasus pemerasan sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) adalah suami dari seorang pegawai KPK. Tersangka tersebut bernama Miki Mahfud, yang merupakan pihak dari PT KEM Indonesia.
“Benar, bahwa salah satu pihak yang diamankan, belakangan diketahui merupakan suami dari salah satu pegawai KPK,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo melalui keterangan tertulis pada Selasa, 26 Agustus 2025. Meski demikian, KPK menegaskan tidak akan menghentikan proses hukum yang sedang berjalan. Suami dari pegawai KPK tersebut telah resmi ditetapkan sebagai tersangka bersama 10 orang lainnya melalui operasi tangkap tangan yang dilakukan pada 20 hingga 21 Agustus 2025.
“Hal ini sebagai bentuk sikap zero tolerance KPK terhadap perbuatan-perbuatan melawan hukum,” tambah Budi. KPK juga telah memeriksa pegawainya yang merupakan istri dari tersangka tersebut. Dari hasil pemeriksaan, KPK menegaskan bahwa yang bersangkutan tidak terlibat dalam perkara yang menjerat suaminya.
Selain itu, KPK juga telah menetapkan eks Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer sebagai tersangka dalam kasus ini. Semua tersangka diduga melanggar Pasal 12 huruf (e) dan/atau Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
KPK juga berpeluang menjerat para tersangka dengan pasal tindak pidana pencucian uang. Saat ini, lembaga antirasuah tersebut masih mengumpulkan sejumlah bukti, seperti apakah uang hasil korupsi dipindahkan untuk menghindari pelacakan, atau diubah ke dalam bentuk lain, misalnya aset-aset tertentu.
Awal Mula Kasus Pemerasan dalam Pengurusan Sertifikat K3
Sementara itu, Ketua KPK Setyo Budiyanto menjelaskan bahwa pemerasan dalam pengurusan sertifikat K3 di Kemenaker ini bermula dari perbedaan tarif. Seharusnya, para buruh hanya membayar biaya resmi sebesar Rp275 ribu. Namun, KPK menemukan melalui fakta lapangan bahwa pungutan yang diambil mencapai hingga Rp6 juta.
“Biaya sebesar Rp6 juta ini dua kali lipat dari rata-rata pendapatan atau upah UMR yang diterima para buruh,” kata Setyo. Hal ini menunjukkan adanya praktik pungutan liar yang merugikan para pekerja, serta menunjukkan sistem yang tidak transparan dalam pengurusan sertifikasi K3.
Proses Penyelidikan dan Tindakan Hukum yang Dilakukan
Dalam kasus ini, KPK telah melakukan penyelidikan mendalam terhadap seluruh pihak yang terlibat. Operasi tangkap tangan yang dilakukan pada tanggal 20 hingga 21 Agustus 2025 menjadi langkah awal dalam proses penuntutan. KPK juga aktif dalam mengumpulkan bukti-bukti tambahan, termasuk melalui pemeriksaan saksi dan analisis data keuangan.
Selain itu, KPK juga memberikan peringatan kepada seluruh instansi pemerintah agar lebih waspada terhadap praktik korupsi dan pemerasan. Langkah-langkah preventif dan penguatan sistem pengawasan menjadi fokus utama dalam mencegah terulangnya kasus serupa.
Reaksi dan Peran KPK dalam Menjaga Integritas
KPK tetap menjaga komitmennya untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Bahkan jika ada pegawai internal yang terlibat, KPK akan tetap mengambil tindakan sesuai dengan aturan yang berlaku. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga anti-korupsi ini tidak ragu dalam menjalankan tugasnya, meskipun situasi bisa saja kompleks.
Dengan terus memperkuat kerja sama dengan instansi terkait dan meningkatkan pengawasan, KPK berharap dapat memberikan contoh yang baik dalam menjaga integritas dan keadilan di tengah masyarakat.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!