
Penolakan Terhadap Usulan Gerbong Khusus Perokok
Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menanggapi dengan tegas dan diplomatis usulan anggota DPR RI terkait penyediaan gerbong khusus perokok di kereta api jarak jauh. Dalam kunjungannya ke Stasiun Solo Balapan, Gibran menyatakan bahwa kebijakan publik harus berpijak pada skala prioritas yang jelas dan berpihak pada kelompok rentan. Menurutnya, jika PT Kereta Api Indonesia (KAI) memiliki ruang fiskal untuk menambah fasilitas, maka yang lebih mendesak adalah ruang laktasi, toilet ramah ibu dan anak, serta akses yang inklusif bagi lansia dan penyandang disabilitas.
Usulan ini muncul sebagai respons terhadap anggota Komisi VI DPR RI, Nasim Khan, yang meminta PT KAI menyediakan gerbong khusus bagi penumpang perokok. Ia beralasan bahwa perjalanan kereta jarak jauh bisa berlangsung hingga delapan jam, dan banyak penumpang yang merasa tidak nyaman karena tidak bisa merokok. “Di bus saja ada tempat merokoknya. Di kereta seharusnya juga bisa,” ujar Nasim dalam rapat dengar pendapat dengan Dirut PT KAI Bobby Rasyidin.
Namun, Gibran punya pandangan berbeda. Ia menilai bahwa kenyamanan penumpang harus diprioritaskan secara inklusif dan sehat. “Kalau pendapat saya pribadi, lebih baik diprioritaskan untuk ibu hamil, ibu menyusui, balita, lansia, kaum difabel,” tegas Gibran. Ia menambahkan bahwa ruang laktasi di dalam gerbong, serta toilet yang lebih luas dan higienis, akan sangat membantu ibu-ibu mengganti popok bayi dengan nyaman selama perjalanan panjang.
Gibran juga menyampaikan permohonan maaf kepada anggota DPR yang mengusulkan gerbong perokok. Ia menegaskan bahwa masukan tersebut tetap ditampung, namun harus dievaluasi berdasarkan kebutuhan masyarakat secara luas. “Saya mohon maaf kepada bapak, ibu anggota dewan yang terhormat. Masukannya tetap kami tampung, tapi ada hal-hal lain yang lebih prioritas,” ujarnya.
Lebih lanjut, Gibran mengingatkan bahwa transportasi publik, termasuk kereta api, merupakan kawasan bebas rokok. Hal ini telah diatur dalam berbagai regulasi, seperti Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024, serta Surat Edaran Nomor 29 Tahun 2014. Ia menyebut bahwa usulan gerbong perokok kurang sinkron dengan visi Presiden Prabowo Subianto yang menekankan pelayanan publik yang sehat, inklusif, dan berorientasi pada kelompok rentan.
Pernyataan Gibran mendapat dukungan dari berbagai kalangan, termasuk pakar kesehatan dan aktivis perlindungan anak. Mereka menilai bahwa penyediaan ruang laktasi dan toilet ramah ibu-anak di kereta api adalah langkah konkret yang menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap kebutuhan dasar masyarakat. “Ini bukan soal gaya hidup, tapi soal hak dasar ibu dan anak untuk mendapatkan fasilitas yang layak selama bepergian,” ujar salah satu aktivis perlindungan anak di Solo.
Di sisi lain, PT KAI juga menegaskan komitmennya untuk menjaga kenyamanan dan keselamatan seluruh pelanggan. Mereka menyatakan bahwa seluruh layanan kereta yang dioperasikan tetap bebas asap rokok, sebagai bagian dari upaya menciptakan ruang publik yang sehat dan aman.
Kontroversi ini membuka diskusi penting tentang arah kebijakan transportasi publik di Indonesia. Apakah fasilitas tambahan harus mengakomodasi gaya hidup tertentu, atau justru memperkuat perlindungan bagi kelompok rentan? Gibran memilih jalur yang berpihak pada kebutuhan nyata masyarakat, dan itu menjadi sinyal bahwa kebijakan ke depan akan lebih berorientasi pada pelayanan publik yang inklusif dan berkelanjutan.
Dengan pernyataan ini, Gibran tidak hanya menolak usulan gerbong perokok, tetapi juga mengangkat isu yang lebih besar: pentingnya mendesain transportasi publik yang ramah keluarga, sehat, dan adil. Sebuah langkah kecil yang bisa berdampak besar bagi jutaan penumpang kereta api di Indonesia.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!