
Potensi Ekonomi Syariah Indonesia yang Masih Tertunda
Indonesia, dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, memiliki peluang besar untuk menjadi pusat ekonomi syariah global. Data menunjukkan bahwa sektor keuangan syariah nasional telah mencapai total aset sebesar Rp9.927 triliun pada Desember 2024, tumbuh sebesar 11,8 persen secara tahunan (yoy) dan berkontribusi hingga 45 persen terhadap PDB Indonesia. Angka ini menunjukkan momentum yang kuat dalam pertumbuhan sektor ini.
Namun, meskipun ada peningkatan yang signifikan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Rachmat Pambudy, menyatakan bahwa pertumbuhan aset keuangan syariah di Indonesia masih tergolong lambat. Pernyataan ini bukan sekadar kritik, melainkan panggilan untuk memperkuat kelembagaan agar potensi ekonomi syariah dapat lebih optimal dimanfaatkan.
Usulan pembentukan Direktorat Jenderal Keuangan Syariah di Kementerian Keuangan menjadi langkah strategis untuk memastikan bahwa ekonomi syariah tidak hanya menjadi instrumen kebijakan, tetapi juga menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Dengan demikian, Indonesia dapat mewujudkan pemerintahan yang adil dan memberikan manfaat bagi ekonomi dunia menjelang peringatan 100 tahun kemerdekaan.
Pertumbuhan sektor keuangan syariah patut diapresiasi. Perbankan syariah, sebagai tulang punggung, mencatat aset sebesar Rp980,3 triliun pada akhir 2024, tumbuh 9,9 persen yoy, melebihi pertumbuhan perbankan nasional yang hanya 5,9 persen. Pangsa pasar perbankan syariah mencapai 7,72 persen. Di pasar modal syariah, total aset mencapai Rp8.559,5 triliun dengan pertumbuhan 11 persen yoy dan pangsa pasar 40,7 persen. Sementara itu, industri keuangan non-bank syariah (IKNB) melonjak 20,5 persen yoy, mencapai Rp387,2 triliun, dengan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) menyumbang 45 persen dari total aset IKNB syariah.
Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) optimistis kontribusi ekonomi syariah terhadap PDB Indonesia akan melampaui 47,30 persen pada akhir 2024. Namun, dengan populasi Muslim yang mencapai lebih dari 200 juta jiwa, angka-angka ini masih menyisakan ruang pertumbuhan yang signifikan jika dibandingkan ambisi Indonesia sebagai pemimpin ekonomi syariah global.
Saat ini, pengelolaan keuangan syariah di Kementerian Keuangan tersebar di berbagai Direktorat Jenderal (Ditjen), menciptakan "tanggung jawab terdistribusi." Misalnya, Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) aktif dalam penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk, yang total penerbitannya telah mencapai Rp3.172 triliun. Pada Agustus 2025 saja, pemerintah mengumumkan penerbitan SR023 dan CWLS SWR006. Ditjen Perbendaharaan (DJPb) bekerja sama dengan bank syariah seperti Bank Syariah Indonesia (BSI) dalam pelaksanaan APBN dan pengelolaan rekening khusus SBSN. Sementara itu, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) merumuskan rekomendasi kebijakan, termasuk kajian perpajakan sektor keuangan syariah.
Meskipun ada KNEKS yang berfungsi sebagai koordinator, ketiadaan satu Ditjen khusus di Kemenkeu dapat menghambat sinergi dan eksekusi kebijakan yang lebih cepat dan terpadu. Kesenjangan kelembagaan ini mencerminkan beberapa tantangan krusial. Salah satunya adalah rendahnya literasi dan inklusi keuangan syariah di masyarakat. Pada tahun 2023, indeks literasi keuangan syariah hanya 39,11 persen, dan inklusi hanya 12,88%. Angka ini jauh di bawah rata-rata inklusi keuangan secara keseluruhan, menunjukkan minat masyarakat yang masih minim terhadap layanan syariah.
Selain itu, terdapat isu harmonisasi regulasi, terutama terkait perlakuan pajak untuk produk syariah seperti mudharabah, murabahah, dan surplus takaful, yang belum sepenuhnya setara dengan produk konvensional. Ini menciptakan ketidakpastian dan dapat menghambat inovasi produk. Wakil Presiden K.H. Ma'ruf Amin sendiri telah menekankan pentingnya "dukungan penguatan kapasitas lembaga keuangan syariah, baik dari sisi permodalan, sumber daya manusia, risk management, dan good corporate governance (GCG)."
Pembentukan Direktorat Jenderal Keuangan Syariah diharapkan membawa dampak transformatif. Pertama, akan terjadi percepatan pertumbuhan sektoral. Dengan kebijakan dan insentif yang lebih terarah, sektor perbankan syariah, pasar modal syariah, dan IKNB syariah dapat melampaui pertumbuhan saat ini yang sudah positif. Kedua, regulasi akan lebih harmonis dan komprehensif, mengatasi masalah perpajakan ganda dan mendorong level playing field yang adil antara keuangan syariah dan konvensional. Ketiga, kepercayaan dan partisipasi publik akan meningkat, didorong oleh badan pemerintah yang kuat dan berdedikasi. Keempat, inovasi dan digitalisasi akan terakselerasi, memanfaatkan teknologi seperti fintech dan blockchain untuk meningkatkan aksesibilitas dan efisiensi layanan keuangan syariah, yang saat ini masih dianggap kurang inovatif dan terkadang lebih mahal dibandingkan produk konvensional.
Lebih dari sekadar pertumbuhan pasar, Direktorat Jenderal ini akan mengintegrasikan prinsip-prinsip syariah lebih dalam ke dalam kebijakan fiskal dan pengelolaan keuangan negara. Dengan adanya Direktorat Jenderal khusus, pemerintah dapat lebih strategis memanfaatkan instrumen syariah seperti SBSN untuk tujuan pembangunan berkelanjutan, seperti Green Sukuk atau Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS) yang telah diterbitkan. Ini akan mendiversifikasi sumber pembiayaan APBN dan proyek infrastruktur, serta mengoptimalkan pengumpulan dan pemanfaatan dana sosial Islam (zakat, infaq, sedekah, wakaf) untuk pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi.
Untuk mewujudkan visi ini, beberapa langkah konstruktif perlu segera diambil. Pertama, rancanglah struktur organisasi Direktorat Jenderal yang optimal, menghindari tumpang tindih dengan unit yang ada, dan memastikan mandat yang jelas untuk perumusan kebijakan, pengawasan regulasi, pengembangan instrumen fiskal, pengelolaan keuangan sosial, dan kerja sama internasional. Kedua, bangun sinergi kuat antara Direktorat Jenderal baru, KNEKS, Bank Indonesia, OJK, dan kementerian terkait lainnya, dengan KNEKS tetap sebagai koordinator utama strategi nasional dan Direktorat Jenderal sebagai lengan eksekutif di Kemenkeu. Ketiga, investasi besar-besaran dalam pengembangan kapasitas dan literasi keuangan syariah. Ini termasuk program pendidikan komprehensif untuk meningkatkan indeks literasi dari 39,11% dan inklusi dari 12,88 persen, serta pelatihan khusus bagi pejabat dan profesional industri. Keempat, dorong inovasi produk dan layanan syariah yang autentik dan kompetitif, bukan sekadar meniru produk konvensional. Ciptakan regulatory sandbox untuk fintech syariah dan berikan insentif bagi solusi berbasis pasar. Dengan langkah-langkah ini, Indonesia dapat benar-benar membuka potensi penuh ekonomi syariahnya, berkontribusi pada ketahanan ekonomi nasional, dan memantapkan perannya sebagai pemimpin global yang berkeadilan dan membawa keberkahan.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!