WWF Ingatkan Proyek Waste to Energy Jangan Buat Masalah Baru

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Featured Image

WWF Indonesia Mendorong Proyek Waste to Energy yang Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan

WWF Indonesia menyarankan pemerintah agar memastikan proyek waste to energy (WtE) berorientasi pada keselamatan manusia dan keberlanjutan lingkungan jangka panjang. Program Manager Plastic Smart Cities WWF Indonesia, Sekti Mulatsih, menyatakan bahwa transformasi sampah menjadi energi merupakan salah satu pendekatan yang sedang dikaji dan dikembangkan di berbagai kota.

“Dalam hal ini, kami memandang bahwa penggunaan teknologi yang memanfaatkan gas dari tempat pembuangan akhir (landfill gas extraction) maupun produksi energi dari biogas dapat menjadi bagian dari solusi transisi energi yang lebih ramah lingkungan, selama dijalankan dengan prinsip kehati-hatian dan standar lingkungan yang ketat,” ujar Sekti saat dihubungi.

WWF Indonesia menekankan agar semua kebijakan dan teknologi yang digunakan dalam proyek pengolahan sampah menjadi energi listrik (PSEL) harus memiliki data ilmiah dan kajian dampak yang transparan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa teknologi yang dipilih tidak menimbulkan risiko lingkungan dan kesehatan masyarakat di kemudian hari.

Sekti berharap bahwa teknologi yang digunakan tidak menghasilkan emisi berbahaya dan jejak karbon yang tinggi serta menimbulkan sejumlah risiko lingkungan serta dapat berdampak pada kesehatan masyarakat. “Oleh karena itu, perencanaan dan pemilihan teknologi harus dipertimbangkan secara serius dan mengedepankan aspek lingkungan dan kesehatan,” tegasnya.

Tantangan dalam Implementasi Proyek PSEL

Saat ini, tantangan berat proyek PSEL berupa pembangkit listrik tenaga sampah di 33 provinsi menghadang. Sejumlah isu, seperti tingginya investasi, kebutuhan teknologi yang kompleks, kesiapan infrastruktur, serta potensi dampak lingkungan dan kesehatan menjadi penghambat utama, yang berisiko membuat proyek-proyek ini gagal mencapai tujuannya.

CEO BPI Danantara Rosan P Roeslani mengatakan proyek PLTSa terbuka bagi semua investor, baik dalam maupun luar negeri. Namun, pemerintah telah menetapkan sejumlah parameter yang tidak bisa dinegosiasikan, termasuk harga listrik dari sampah. Rosan menekankan bahwa standarisasi sudah ditetapkan, termasuk harga yang ditetapkan sebesar 20 sen per kWh. “Jadi tidak ada negosiasi lagi, harga sudah jelas 20 sen. Teknologi seperti apa, industrinya seperti apa dan kita akan melakukan tender secara terbuka dan transparan,” tegas Rosan.

Terkait total nilai investasi, Rosan menyebut angkanya akan bervariasi berdasarkan kapasitas dan lokasi proyek. Namun dia menekankan bahwa skala proyek ini termasuk besar dan strategis untuk mengurangi ketergantungan terhadap TPA serta mendukung transisi energi bersih di Indonesia.

Adapun kapasitas pengolahan sampah di setiap lokasi minimal 1.000 ton per hari. Khusus di Jakarta, satu titik bisa menangani hingga 2.500 ton per hari, tergantung kebutuhan dan volume sampah. “Tergantung, paling kecil dari 1.000 ton per hari sampai di atas 1.000 ton per hari, tetapi minimum 1.000 ton per hari. Kalau di Jakarta satu titik bisa sampai 2.500 ton per hari,” pungkas Rosan.

Masalah Ekonomi dan Pengelolaan Sampah

Rezim pengelolaan sampah di atas kertas, strategi yang diungkapkan Rosan tampak mudah dijalankan. Sayangnya, pengelolaan sampah tidak hanya berada di tempat pembuangan sampah akhir, tetapi dari rumah tangga.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan wacana proyek Waste to Energy (WtE) yang digaungkan pemerintah lebih fokus pada rezim pengelolaan sampahnya. Pasalnya, secara keekonomian, mengubah sampah menjadi energi masih belum menguntungkan secara bisnis. “Kalau bicara penugasan, lalu ada kompensasi dari APBN (ke PLN) tentu tidak menguntungkan saat ini. Pengelolaan sampah ada di daerah, jadi diserahkan ke APBD, tapi bagaimana kondisi keuangan pemerintah daerah?” ujarnya.

Menurutnya, saat ini biaya pembangunan PLTSa bisa mencapai US$ 5 juta–US$13 juta per megawatt, tergantung lokasi dan faktor tambahan lainnya. Nilai investasi pembangkit energi terbarukan ini lebih mahal dibandingkan dengan teknologi lain. “Makanya belum menarik sekarang untuk investasi di PLTSa. Pun kita lihat di dunia tren transisi energi tidak diarahkan ke WtE,” jelasnya.

Selain itu, isu pengolahan sampah, lanjutnya Bhima tidak hanya di tempat pembuangan akhir sampah (TPA), tetapi dari pemilahan di rumah tangga. Bhima menambahkan, pendekatan WtE seperti cofiring juga tidak menjadi solusi, mengingat biayanya jauh lebih mahal daripada proyek pensiun dini PLTU. “Kalau mau buka-bukaan, co-firing juga bukan solusi. Karena praktiknya teknologi ini jadi lebih mahal kalau dibandingkan dengan pensiun dini PLTU,” katanya.