
Tantangan Pengelolaan Sampah di Indonesia
Masalah sampah di Indonesia terus meningkat dan menjadi isu yang mendesak untuk segera ditangani. Berdasarkan laporan kajian lingkungan hidup strategis rencana pembangunan jangka panjang nasional 2025-2045, volume sampah nasional diperkirakan akan mencapai 82,2 juta ton pada tahun 2045. Pada 2025 ini, volume sampah nasional diproyeksikan mencapai 63 juta ton. Namun, kemampuan mengelola sampah dinilai akan menurun dalam beberapa tahun mendatang akibat meningkatnya populasi dan produksi sampah.
Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2024, volume sampah di Indonesia mencapai 34,2 juta ton, dengan hanya 59,74% atau sekitar 20,4 juta ton yang terkelola. Sementara itu, 40,26% atau setara 13,8 juta ton sampah tidak terkelola. Dalam lima tahun terakhir, sampah rumah tangga konsisten menjadi penyumbang terbesar, dengan kontribusi sebesar 60,46% pada 2023.
Upaya Pemerintah Mengatasi Masalah Sampah
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah telah mengambil berbagai langkah, termasuk pengolahan sampah menjadi sumber energi listrik melalui Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Presiden RI Prabowo Subianto meminta agar program pengelolaan energi berbasis sampah dipercepat, dengan proses administrasi yang dipangkas menjadi 3 bulan agar target penyelesaian proyek dalam 18 bulan bisa tercapai.
Namun, dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025-2034, terjadi penyusutan target kapasitas pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) secara nasional. Dari yang sebelumnya direncanakan sebesar 518 megawatt (MW) dalam RUPTL 2021-2030, target tersebut direvisi turun menjadi hanya 453 MW dalam RUPTL 2025-2034. Penyusutan ini bahkan lebih terasa di Jawa, Madura, dan Bali, dengan kapasitas PLTSa yang dipangkas drastis dari 492 MW menjadi 399 MW.
Tantangan dalam Pengembangan PLTSa
Pembangunan PLTSa memiliki tantangan pembiayaan karena pengelolaan sampah menjadi energi listrik membutuhkan investasi yang cukup mahal. Menteri Lingkungan Hidup menyatakan bahwa Presiden Prabowo mempercepat pengendalian sampah nasional untuk mencapai target 100% pada 2029 sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Investasi yang diperlukan sebesar Rp300 triliun untuk mentransformasi 343 Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang masih menggunakan sistem open dumping atau menumpuk sampah secara terbuka tanpa pengelolaan menjadi minimal controlled landfill atau sanitary landfill.
Selain itu, ada kebutuhan pembangunan Refuse Derived Fuel (RDF) dan PLTSa di 33 kota, pendirian 250 tempat pengolahan sampah terpadu (TPST), serta 42.000 TPS Reduce, Reuse, Recycle (TPS3R).
Proses Perizinan dan Regulasi
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung mengklaim bahwa setiap 1.000 ton sampah bisa diolah untuk menjadi listrik berkapasitas 20 MW. Menurutnya, PLTSa bisa menjadi solusi untuk mengurai sampah di perkotaan dan pasokan energi hijau pun bertambah. Namun, harga jual listrik PLTSa ke PLN dipengaruhi oleh komponen tambahan seperti tipping fee. "Harga jual ke PLN itu sudah termasuk tipping fee-nya sekitar US$20 sen per kilowatt hour (kwh)," ujarnya.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memastikan proyek pengelolaan sampah menjadi listrik akan difasilitasi melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Rencananya, pembiayaan proyek tersebut akan melekat pada APBN. Meskipun belum merinci besaran anggarannya, namun pemerintah menyiapkan dukungan fiskal agar proyek strategis itu dapat berjalan.
Partisipasi Swasta dan Investasi
CEO BPI Danantara Rosan Perkasa Roeslani menuturkan proyek PLTSa akan dimulai di 33 titik, dengan prioritas peluncuran di Jakarta, Bandung, Bali, Semarang, dan Surabaya. Dari sisi investasi, proyek ini terbuka bagi semua investor baik dalam maupun luar negeri. Namun, pemerintah telah menetapkan sejumlah parameter yang tidak bisa dinegosiasikan termasuk harga listrik dari sampah. Adapun standarisasi sudah ditentukan termasuk harga yang ditetapkan sebesar US$20 sen per kWh.
Danantara juga meluncurkan patriot bond pada bulan lalu dalam pertemuan bersama sejumlah pengusaha nasional di Jakarta. Obligasi patriot merupakan surat utang perdana yang diterbitkan oleh Danantara, yang diyakini dapat menghimpun dana hingga Rp50 triliun. Patriot bond diterbitkan dalam dua seri, yaitu seri dengan jangka tenor lima tahun dan tujuh tahun. Kedua seri tersebut menawarkan imbal hasil sebesar 2%.
Tantangan Ekonomi dan Lingkungan
CEO Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat bahwa penerbitan bond sejatinya harus punya tujuan yang jelas dan aset yang akan didanai dari hasil surat utang. Dia menambahkan bahwa sampah Indonesia 70% organik yang mengandung kadar air tinggi dan rendah kalori sehingga untuk dapat hasil maksimal tidak bisa langsung dibakar namun melalui pre-treatment dalam upaya menghasilkan energi listrik. Hal ini butuh tambahan biaya sehingga bisa menambah capital expenditure atau belanja modal.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan biaya pengembangan teknologi PLTSa relatif lebih mahal dibandingkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap dan pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH). Hal ini karena pengembangan PLTSA membutuhkan pembiayaan US$5 juta hingga US$13 juta yang tergantung lokasi.
Kesimpulan
PLTSa memiliki peran strategis dalam menjawab persoalan sampah yang saat ini menjadi masalah di hampir setiap kota di Indonesia. Namun, tantangan seperti keterbatasan lahan di perkotaan, kebutuhan air, pengendalian limbah dan residu berbahaya dari sampah, kepastian pasokan sampah yang konsisten, dan pembiayaan tetap menjadi penghambat utama. Dengan regulasi yang tepat dan partisipasi aktif dari swasta, PLTSa bisa menjadi solusi ganda, yakni mengurangi permasalahan sampah sekaligus memperkuat bauran energi bersih nasional.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!