
Usulan Pembahasan RUU Perampasan Aset di Komisi III DPR
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Ahmad Iman Sukri, mengusulkan agar Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset dibahas oleh Komisi III. Usulan ini dilakukan karena pembahasan RUU tersebut bisa dilakukan secara paralel dengan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHAP), yang saat ini sedang berjalan di Komisi III.
Menurut Iman, RUU Perampasan Aset akan lebih sesuai jika dibahas oleh Komisi III karena RKUHAP juga berada di bawah komisi tersebut. Hal ini akan memastikan keselarasan dalam proses penyusunan peraturan hukum. "Nanti diaturlah (RUU) Perampasan Aset bagaimana, kayaknya lebih pas di Komisi III, kan (RUU) KUHAP juga di Komisi III, jadi in line begitu," ujar Iman dalam keterangan tertulis pada Kamis, 11 September 2025.
Selain itu, Iman menjelaskan bahwa saat ini Baleg DPR sedang membahas beberapa RUU yang belum selesai, seperti RUU Koperasi, RUU Statistik, dan RUU Pelindungan Pekerja Migran. Oleh karena itu, jika RUU Perampasan Aset diserahkan ke Baleg, maka beban kerja akan semakin berat.
DPR memiliki sisa waktu 32 hari kerja hingga Desember 2025. Oleh karena itu, Iman menyarankan agar DPR membentuk panitia kerja tambahan untuk membahas RUU baru. Dengan dua hingga tiga panja tambahan, proses penyusunan RUU Perampasan Aset akan lebih efektif. "Agar produk legislasi kita lebih dari segi kualitas maupun kuantitasnya," tutur dia.
Pemerintah dan DPR sepakat menyertakan RUU Perampasan Aset dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Keputusan ini diambil setelah evaluasi Prolegnas 2025 oleh seluruh fraksi Parlemen dan pemerintah.
Ketua Badan Legislasi DPR, Bob Hasan, menyatakan bahwa legislatif menargetkan pembahasan RUU Perampasan Aset selesai pada 2025. Rencananya, rancangan undang-undang yang sempat mandek bertahun-tahun ini akan mulai dibahas setelah masuk tahap evaluasi pekan depan.
Bob menekankan pentingnya pembahasan paralel antara RUU Perampasan Aset dan RKUHAP karena keduanya berkaitan dengan mekanisme hukum acara pidana. Tujuannya adalah mencapai sinkronisasi dalam pembentukan sistem hukum nasional. "Jangan sampai salah arah. KUHAP berlaku tahun depan, maka instrumen hukum lain seperti perampasan aset harus punya fondasi yang kokoh," ujarnya di kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada Selasa, 9 September 2025.
Transparansi dan Partisipasi Publik dalam Penyusunan RUU
Dalam keterangan terpisah, peneliti Indonesia Corruption Watch, Wana Alamsyah, mendorong DPR dan pemerintah untuk membuka draf RUU Perampasan Aset terbaru. Termasuk naskah akademik yang sudah disusun. Ia menilai transparansi menjadi hal penting dalam proses penyusunan payung hukum. Partisipasi publik harus dibuka seluas-luasnya agar pembahasan berjalan bermakna. "Jangan sampai draf RUU Perampasan Aset yang dibahas malah kontraproduktif dengan upaya pemberantasan korupsi," ujarnya pada Ahad, 7 September 2025.
Norma unexplained wealth penting dimasukkan dalam RUU Perampasan Aset. Norma ini merujuk pada dugaan kepemilikan kekayaan secara tidak sah. "Norma ini penting untuk menyasar pejabat publik, termasuk anggota legislatif yang memiliki profil kekayaan tidak sesuai dengan pendapatan di LHKPN," kata Wana.
Selain itu, Wana menyoroti pentingnya norma tentang penelusuran uang hasil tindak pidana. Tujuannya adalah memberi efek jera bagi koruptor dalam penegakan hukum pidana korupsi. Ia menyebut bahwa penegakan hukum terkait penelusuran uang hasil tindak pidana ini juga bisa dilakukan lewat UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Namun, pengenaan UU TPPU oleh penegak hukum terhadap terdakwa kasus korupsi belum serius.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!