
Demonstrasi Besar di Prancis Menandai Kekacauan Politik
Pada hari Rabu (10/9/2025), Prancis kembali diguncang oleh demonstrasi besar yang berlangsung bertepatan dengan pelantikan perdana menteri baru, Sebastien Lecornu. Ia menggantikan Francois Bayrou, yang sebelumnya menjabat sebagai perdana menteri dan digulingkan akibat gelombang ketidakpuasan publik terhadap kebijakan pemangkasan anggaran serta krisis politik yang berkepanjangan.
Demonstrasi ini diinisiasi oleh gerakan akar rumput bernama “Bloquons Tout” (Mari Blokir Semua), yang mencerminkan kemarahan publik terhadap elite politik dan kebijakan yang dinilai merugikan rakyat kecil. Aksi protes ini tidak hanya memicu keributan, tetapi juga mengganggu infrastruktur dan aktivitas sehari-hari di berbagai kota.
Kericuhan Demonstrasi
Para peserta demonstrasi melakukan berbagai tindakan seperti memblokir jalan, membakar tong sampah, serta mengganggu akses sekolah dan infrastruktur. Di Rennes, sebuah bus dibakar, sedangkan di Toulouse, kabel listrik disabotase. Di Paris, sekitar 1.000 pengunjuk rasa—sebagian besar menggunakan masker—berhadapan dengan polisi di luar stasiun Gare du Nord.
Menurut pernyataan resmi dari Kementerian Dalam Negeri, demonstrasi terjadi di lebih dari 800 titik di seluruh negeri, melibatkan sekitar 175.000 orang. Lebih dari 470 orang ditahan, sebagian besar di Paris. Seorang mahasiswa berusia 25 tahun, Alex, mengatakan kepada BBC bahwa alasan mereka turun ke jalan adalah karena lelah dengan cara Presiden Macron menangani utang negara. Ia menyatakan ketidakpercayaannya terhadap perdana menteri baru bahwa ia tidak akan mengulangi siklus yang sama.
Gerakan "Bloquons Tout"
Gerakan “Bloquons Tout” awalnya muncul di media sosial beberapa bulan lalu dan semakin populer setelah pemerintah mantan PM Francois Bayrou mengusulkan pemotongan anggaran sebesar 44 miliar euro (sekitar Rp 847 triliun). Meski awalnya didukung oleh kelompok sayap kanan, gerakan ini kini lebih didominasi oleh kelompok kiri dan kiri-radikal.
Tuntutan para peserta demonstrasi sangat beragam, mulai dari peningkatan investasi publik, pajak progresif untuk orang kaya, pembekuan sewa, hingga desakan agar Presiden Emmanuel Macron mundur. Elodie, seorang guru TK di Paris, mengatakan kepada CNN bahwa ia mogok kerja karena tidak bisa lagi menerima politisi yang menggunakan alasan utang untuk membongkar sistem publik sementara perusahaan besar dibiarkan lepas tangan.
Lecornu Hadapi Tantangan Berat
Pelantikan Sebastien Lecornu, yang sebelumnya menjabat sebagai menteri pertahanan, dipandang sebagai ujian awal yang berat. Ia menjadi perdana menteri kelima dalam dua tahun terakhir, menggantikan Francois Bayrou yang tumbang akibat mosi tidak percaya.
Dalam pidato singkat usai serah terima jabatan di Hotel Matignon, Lecornu berjanji akan bekerja lebih dekat dengan oposisi. “Kita harus lebih kreatif, lebih serius dalam bekerja dengan oposisi. Krisis politik ini menuntut kesederhanaan dan kerendahan hati,” ujarnya. Namun, oposisi menilai pengangkatan Lecornu—seorang loyalis Macron—hanya memperburuk krisis kepercayaan publik.
Ketua Partai Sosialis Olivier Faure mengatakan di radio Perancis bahwa “pada dasarnya, Lecornu di Matignon sama saja dengan Macron di Matignon. Tidak ada perubahan.”
Ancaman Krisis Politik Berlanjut
Situasi politik di Prancis semakin rapuh. Parlemen terpecah menjadi tiga blok besar yang sulit berkompromi soal defisit anggaran yang kini mencapai 5,8 persen dari PDB. Partai sayap kiri France Unbowed telah berjanji akan segera mengajukan mosi tidak percaya terhadap Lecornu.
Pengamat politik Zaki Laidi dari Sciences Po menilai prospek pemerintahan Lecornu suram. “Membangun koalisi dalam kondisi seperti ini hampir mustahil. Akan jadi keajaiban jika ia berhasil bertahan,” katanya.
Sementara itu, gerakan Bloquons Tout sudah merencanakan aksi nasional lebih besar pada 18 September mendatang bersama serikat pekerja. Banyak yang khawatir protes ini bisa berkembang seperti gerakan “Rompi Kuning” (Yellow Vests) pada 2018, yang berbulan-bulan melumpuhkan Prancis.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!