Ketika Negara-Negara Arab Akui Kedaulatan RI

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Featured Image

Perjuangan Indonesia dalam Mempertahankan Kemerdekaan

Setelah momen penting 17 Agustus 1945, perjuangan bangsa Indonesia memasuki babak baru. Seluruh putra dan putri Ibu Pertiwi berupaya keras untuk menjaga kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam hukum internasional, terdapat empat syarat yang harus dipenuhi oleh sebuah negara: adanya rakyat, wilayah, pemerintahan yang berkuasa, serta pengakuan dari negara-negara lain. Tiga syarat pertama secara otomatis terpenuhi setelah Proklamasi Kemerdekaan RI.

Pengakuan internasional menjadi fokus utama sejak awal. Oleh karena itu, pemerintahan Presiden Sukarno gencar melakukan misi diplomatik. Salah satu faktor yang memberikan keuntungan bagi Indonesia adalah penduduk mayoritas Muslim. Di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, negara-negara Arab memiliki simpati terhadap perjuangan Indonesia.

Liga Arab, yang saat itu dipimpin oleh Mesir, berperan penting dalam menyuarakan isu kemerdekaan Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sekretaris Jenderal Liga Arab pada masa 1945-1952, Abdurrahman Azzam Pasya, menunjukkan peran signifikan dalam mengajak negara-negara Arab untuk mendukung perjuangan Indonesia. Ia meminta mereka mengakui republik Asia Tenggara tersebut sebagai negara merdeka dan berdaulat.

Sebagai representasi Liga Arab, Azzam Pasya juga mengimbau negara-negara anggota PBB agar mengakui kedaulatan Indonesia. Meskipun dalam artikel Suranta Abdur Rahman, "Diplomasi RI di Mesir dan Negara-negara Arab pada Tahun 1947" (2007), disebutkan bahwa masalah yang dibawa Liga Arab di PBB sangat berat, termasuk zionisme yang mencaplok tanah Palestina, krisis Terusan Suez, Sudan, serta kontrol Inggris dan Prancis di kawasan Timur Tengah, perhatian terhadap Indonesia tetap menjadi prioritas utama.

Berkat upaya tersebut, soal Indonesia masuk dalam agenda sidang Dewan Keamanan PBB di New York, Amerika Serikat (AS) sejak Agustus 1946. Banyak negara seperti AS, Australia, India, Afghanistan, dan Filipina bersuara dalam sidang tersebut. Mereka mengecam agresi militer yang dilakukan Belanda terhadap RI.

Akibatnya, Belanda semakin terdesak dan harus membuka dialog. Berbagai perundingan antara RI dan Belanda pun dilakukan dengan pengawasan internasional.

Di tengah Agresi Militer Belanda I, pemerintah Indonesia berhasil menembus blokade musuh. Dengan menggunakan pesawat terbang milik pengusaha India Biju Patnaik, Sutan Sjahrir dapat terbang dari Yogyakarta. Pada medio Agustus 1947, Sjahrir dan rombongan hadir sebagai wakil RI di sidang Dewan Keamanan PBB di Lake Success, AS. Terjadi perang opini antara delegasi RI dan Belanda di muka sidang PBB.

Pidato Sjahrir ternyata meninggalkan kesan mendalam bagi para diplomat mancanegara, termasuk AS. Mereka semakin yakin bahwa Indonesia memenuhi syarat sebagai negara berdaulat. Dengan demikian, klaim Belanda terbantahkan. Kesuksesan misi Sjahrir tidak lepas dari dukungan Liga Arab, khususnya melalui Azzam Pasya.

Contohnya, ketika delegasi RI yang dipimpin Sutan Sjahrir menghadapi kendala keuangan selama berada di New York, diplomat Mesir ini memberikan pinjaman sebesar 20 ribu dolar AS. Dana itu disampaikan melalui tangan seorang editor surat kabar Mesir, Al-Misry. Lima bulan kemudian, pemerintah RI mengembalikan uang pinjaman tersebut. Hal ini sesuai dengan kesaksian Menteri Dalam Negeri kala itu, Mohammad Roem.