Kegagalan Kesepakatan Global tentang Plastik dan Dilema Penggemar Gaya Hidup Berkelanjutan

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Featured Image

Kesadaran dan Tantangan dalam Gaya Hidup Berkelanjutan

Sebagai bagian dari komunitas Kompasianer, saya yakin bahwa kita semua memiliki kesadaran yang tinggi terkait isu gaya hidup berkelanjutan. Hal ini tidak hanya terlihat dari berbagai lomba menulis yang sering diadakan, tetapi juga dari kegiatan-kegiatan offline yang sering dilakukan. Oleh karena itu, tidak heran jika kita merasa cukup sadar akan pentingnya menjaga lingkungan.

Banyak teman-teman Kompasianer yang aktif menulis tentang gaya hidup berkelanjutan, baik itu terkait inovasi alat, cara hidup, maupun gaya hidup secara keseluruhan. Saya percaya bahwa tindakan-tindakan tersebut dilakukan atas dasar kesadaran bahwa bumi yang kita tempati kini sedang dalam kondisi kritis. Para ilmuwan pun sudah memberi peringatan bahwa kondisi bumi saat ini tidak lagi ramah untuk ditinggali.

Kita mulai menyadari dan merasakan perubahan lingkungan, meskipun tidak semua orang peduli. Bagi mereka yang peduli, mereka mulai menerapkan pola hidup yang lebih ramah lingkungan. Contohnya seperti membawa tumbler sendiri ketika bepergian, menggunakan transportasi umum, memilah sampah di rumah, menghemat listrik, dan sebagainya.

Tindakan ini dilakukan dengan sukarela dan penuh kesadaran. Kita tahu bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk yang bisa menyelesaikan masalah ini. Kita bangga bisa melakukan hal-hal kecil ini, yang kita anggap akan berdampak besar bagi bumi. Kita puas menjadi bagian dari kelompok yang turut memperjuangkan nasib bumi ke depannya.

Namun, ada juga rasa kecewa ketika melihat orang lain yang sama-sama mengerti akan masalah ini tapi tidak seantusias kita. Kita merasa bahwa usaha kita seperti menguras air laut atau memindahkan gunung tertinggi di dunia. Belum lagi ada orang-orang yang bahkan tidak tahu bahwa kondisi bumi kritis. Mereka hidup normal tanpa memikirkan keberlanjutan.

Lelahkah kita? Jujur iya, lelah. Usaha kita seperti tak ada ujungnya. Misalnya, kita berusaha membawa tumbler sendiri, tetapi di luar sana banyak orang yang masih membeli minuman kemasan. Jumlahnya jauh lebih besar, sehingga sulit untuk membuat perubahan nyata.

Kita mulai meragukan apakah tindakan kecil yang kita lakukan benar-benar berdampak. Kita bertanya-tanya apakah pengorbanan kita naik transportasi umum akan membuat langit kembali biru. Apakah kita hanya membuang waktu dan usaha kita sia-sia?

Meski begitu, kita senang dan bangga ketika Majelis Lingkungan PBB (UNEA) mendirikan komite Perundingan Antar Pemerintah (INC) pada tahun 2022. Fokus dari komite ini adalah membentuk perjanjian global terkait masalah plastik. Ada sekitar 1000 delegasi dari setidaknya 180 negara yang hadir dalam perundingan ini.

Ini seperti oase di tengah gurun plastik yang seakan tak berujung. Data World Economic Forum menyebut proyeksi limbah plastik global pada tahun 2060 bisa mencapai 1,7 miliar metrik ton. Kita berharap pertemuan ini bisa mengurangi produksi plastik secara global melalui aturan yang lebih mengikat.

Pertemuan INC juga memberi harapan yang cukup cerah. Dari pertemuan pertama tahun 2022, sebanyak 175 negara mendukung revolusi untuk mengakhiri polusi plastik. Pada pertemuan kedua di Paris, komite ini mulai merundingkan penyusunan perjanjian global untuk menghilangkan limbah plastik.

Sayangnya, pertemuan 5.2 di Geneva yang dilaksanakan pertengahan Agustus lalu gagal menyepakati perjanjian plastik secara global. Menurut laporan Center for International Environmental Law (CIEL), jumlah pelobi industri fosil dan kimia meningkat dari 143 pada INC-3 menjadi 234 di INC-5.2. Hal ini menunjukkan tekanan kuat dari sektor industri untuk melemahkan ambisi perjanjian.

Dari gagalnya kesepakatan INC, saya menyadari bahwa persoalan plastik bukan hanya soal kesadaran, tetapi juga terkait kepentingan yang ada di dalamnya. Di antara kelompok yang ingin bumi lebih baik, ada kelompok lain yang ingin masalah ini tidak berakhir demi kepentingan mereka sendiri.

Rasanya seperti patah hati, terlebih kita yang merasakan susahnya mengkampanyekan hidup berkelanjutan. Suara, tulisan, dan postingan kita terasa sia-sia. Kita dihimbau berperang di hilir tanpa ada penghentian di hulu. Rasanya menyesakkan dan melelahkan.

Meski begitu, sikap pemerintah Indonesia cukup tegas terkait isu ini. Melalui beberapa sumber, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menyatakan bahwa Indonesia akan mengambil langkah nyata terencana dan terukur untuk menghentikan polusi plastik, baik atau tidak adanya perjanjian global. Hal ini sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2025-2029.

Namun, kita tidak serta merta menerima hal ini dengan penuh ketenangan. Nyatanya, masalah plastik telah menghantui negeri selama puluhan tahun. Program-program yang dijalankan pemerintah belum membuahkan hasil signifikan. Contohnya program Indonesia Bebas Sampah 2025 yang lebih fokus pada pengelolaan sampah yang sudah ada, sementara regulasi ketat terhadap industri plastik masih menyisakan tanda tanya.

Masalah ini tidak mudah, tapi semakin larut jika dibiarkan terus menerus. Semakin lama waktu berjalan, semakin banyak sampah plastik yang dihasilkan masyarakat. Sebagai rakyat jelata, kita hanya bisa menertibkan diri dengan menjalankan gaya hidup berkelanjutan.

Program 3R (Reduce, Reuse, Recycle) yang selama ini digunakan kini tampak tidak relevan. Meskipun ada program baru bernama 5R (Refuse, Reduce, Reuse, Recycle & Rot), tetap saja percuma jika dari sisi hulu tidak dihalau.

Jika pemerintah tidak mengambil tindakan tegas, program-program indah yang ada hanya akan menjadi pain killer semata tanpa solusi penuh. Kita sebagai penganut gaya hidup berkelanjutan hanya memuaskan diri sendiri, merasa sudah memberikan dampak yang sebenarnya masalahnya masih berputar-putar.

Saya tetap akan menjalankan hidup seperti ini, memuaskan diri sendiri sambil menunggu kabar baik dari para penguasa. Jika masalah plastik saja serumit ini, bagaimana dengan masalah polusi lain? Duh, Mas!