
Kekerasan Gender yang Masih Diabaikan dalam Sistem Hukum Indonesia
Peneliti Indonesia Legal Resource Center (ILRC) sekaligus Indonesia Femicide Watch (IFW), Siti Aminah Tardi, menyoroti bahwa femisida sebagai puncak dari kekerasan gender masih belum diakui secara resmi dan tidak memiliki data nasional. Hal ini menyebabkan upaya pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban sering kali terlewat. Padahal, negara wajib melindungi perempuan dari ancaman kekerasan yang berujung pada kematian.
Salah satu contoh kasus yang menunjukkan adanya femisida adalah kematian perempuan bernama DPK (27) asal Desa Jatimekar, Jatiluhur, Purwakarta. Ia ditemukan meninggal dunia dengan luka tusuk. Pelaku adalah asisten rumah tangga (ART) bernama Dea yang marah karena tidak mendapatkan respons dari korban saat menanyakan upah. Kasus ini dapat dikategorikan sebagai femisida dalam lingkup keluarga, mengingat ada ancaman pembunuhan dan percobaan pembunuhan yang dilakukan dengan cara melebihi upaya mematikan seseorang. Korban diketahui mengalami banyak luka tusukan.
Peningkatan Kasus Femisida dengan Pelaku Orang Terdekat
Perkumpulan Lintas Feminis yang memantau pemberitaan media online mencatat adanya peningkatan jumlah kasus femisida. Data menunjukkan 184 kasus pada 2022, 180 kasus pada 2023, dan 204 kasus pada 2024. Mayoritas pelaku adalah laki-laki yang merupakan orang dekat korban, membuktikan bahwa femisida bukanlah insiden terpisah, melainkan bagian dari pola kekerasan sistematis terhadap perempuan.
Ami, mantan Komisioner Komnas Perempuan, menjelaskan bahwa hampir 48 persen kasus melibatkan pasangan intim, sedangkan lebih dari 50 persen pembunuhan terjadi di rumah korban—ruang yang seharusnya menjadi tempat aman. Fakta ini menunjukkan bahwa kekerasan tersebut sering berulang, tidak dicegah, bahkan ditoleransi oleh lingkungan sekitar.
Masih Ada Anggapan Tidak Pentingnya Kekerasan Terhadap Perempuan
Kasus femisida juga pernah terjadi pada seorang perempuan bernama MSD yang dibunuh oleh suaminya setelah melaporkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kasus ini menunjukkan bahwa potensi bahaya sering tidak dinilai secara serius, sehingga kekerasan bereskalasi menjadi pembunuhan.
Menurut Siti Aminah Tardi, hal ini tidak bisa dilepaskan dari anggapan bahwa kekerasan terhadap perempuan dianggap tidak penting. Tidak adanya kesadaran akan siklus kekerasan dan pengabaian terhadap ancaman kekerasan atau pembunuhan memperparah situasi.
Ia menegaskan bahwa femisida sebenarnya bisa dicegah melalui penggunaan penilaian tingkat kebahayaan (danger assessment) sebagai metode untuk mengukur ancaman langsung terhadap keselamatan atau nyawa seseorang. Metode ini digunakan oleh polisi, pekerja sosial, layanan korban, shelter, dan layanan kesehatan untuk melakukan intervensi terhadap korban.
Mendesak Penerapan Danger Assessment untuk Mencegah Femisida
Sejumlah negara maju telah menerapkan mekanisme danger assessment untuk menilai tingkat bahaya bagi korban kekerasan berbasis gender dan mencegah femisida. Amerika Serikat menggunakan danger assessment, Kanada memakai ODARA dan B-SAFER, Inggris dan Wales menerapkan DASH Risk Checklist, sementara Australia dan Selandia Baru mengadaptasi Domestic Violence Safety Assessment Tool. Instrumen ini direkomendasikan PBB melalui UN Women dan WHO sebagai langkah perlindungan dini.
Namun, Indonesia belum memiliki mekanisme serupa. Akibatnya, korban KDRT sering tetap tinggal bersama pelaku, laporan ancaman pembunuhan tidak dianggap serius, dan tidak ada langkah pencegahan. Indikator seperti adanya ancaman pembunuhan, intensitas kekerasan, serta akses pelaku terhadap senjata merupakan tanda bahaya tinggi risiko femisida.
Tuntutan IFW kepada Pemerintah dan Polri
Dalam kasus di Purwakarta, IFW menyampaikan lima tuntutan. Pertama, kekecewaan atas tidak adanya pengusutan serius terhadap ancaman pembunuhan yang bereskalasi menjadi kematian korban. Kedua, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) bersama Polri diminta membangun mekanisme penilaian tingkat bahaya di tingkat layanan dan kepolisian. Ketiga, KPPPA diminta memasukkan mekanisme tersebut dalam revisi UU PKDRT.
Keempat, media massa diimbau tidak menampilkan identitas lengkap korban. Kelima, UPTD Purwakarta diharapkan memberi dukungan psikologis dan psikososial bagi keluarga korban. Selain itu, Komnas Perempuan menyarankan agar polisi mendalami motif gender dalam kasus Purwakarta. Pembunuhan wanita terborgol dinilai masuk kategori sadistis-femisida.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!