
Kritik terhadap Sistem Pelayanan Kesehatan di Indonesia
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menyampaikan kritik tajam terhadap sistem pelayanan kesehatan di Indonesia yang dinilai terlalu berorientasi pada materi. Hal ini disampaikan dalam seminar nasional yang bertema 'Pencegahan Perundungan, Gratifikasi, Korupsi & Tindak Pidana Kekerasan Seksual di Lingkungan Fasilitas Pelayanan Kesehatan' di Universitas Padjadjaran, Bandung.
Dedi mengatakan bahwa dunia kesehatan kini telah menjadi industri yang dihitung berdasarkan kepentingan bisnis. Menurutnya, hal ini berdampak signifikan terhadap kualitas layanan yang diberikan kepada masyarakat.
"Kita masuk ke materialisme dunia kesehatan. Dunia kesehatan adalah bisnis," ujarnya.
Dampak Materialisme pada Kualitas Layanan
Kondisi ini menurut Dedi sangat memperihatinkan karena mengurangi kualitas pelayanan kesehatan. Ia menegaskan bahwa jika materialisme menguasai pikiran para tenaga kesehatan, maka layanan yang diberikan akan jauh dari harapan masyarakat.
Salah satu contoh nyata dari pergeseran nilai ini adalah dalam dunia kedokteran. Dedi menyebut bahwa semakin langka dokter yang memiliki pengabdian baik terhadap masyarakat dan negara. Ia menjelaskan bahwa dahulu, semua dokter cenderung lebih fokus pada pengabdian, tetapi sekarang banyak dokter yang lebih perhitungan.
Biaya Pendidikan Dokter yang Tinggi
Dedi juga mengakui bahwa materialisme dalam dunia kedokteran tidak terjadi begitu saja. Menurutnya, para dokter pun terpaksa seperti itu akibat tingginya biaya pendidikan yang harus mereka lalui. Hal ini membuat para dokter menjadi korban dari sistem yang ada.
Untuk mengatasi hal ini, Dedi menyarankan adanya perbaikan dalam sistem rekrutmen dokter, mulai dari seleksi awal hingga proses pendidikan spesialis. Ia menilai bahwa seleksi akademis harus dilakukan lebih baik lagi agar bisa menjaring mahasiswa kedokteran yang berkualitas, bukan hanya berdasarkan kemampuan finansial.
Seleksi Mahasiswa Kedokteran yang Lebih Ketat
Dedi menjelaskan bahwa dulu, calon dokter yang masuk universitas terbaik adalah mereka yang memiliki kemampuan akademis yang kuat, meskipun berasal dari keluarga tidak mampu. Namun, saat ini situasi berbeda. Banyak mahasiswa yang masuk kedokteran hanya karena memiliki kemampuan finansial, bukan kemampuan akademis.
"Sekarang pintar saja enggak cukup kalau orang tuanya enggak punya kemampuan (finansial). Sekarang bodoh sedikit boleh masuk kedokteran asal punya uang," ujarnya.
Seleksi Pendidikan Spesialis yang Lebih Ketat
Selain itu, Dedi menyarankan agar seleksi ketat juga diterapkan dalam pendidikan spesialis. Ia menilai bahwa yang berhak mengikuti pendidikan spesialis tersebut adalah dokter yang sudah terbukti memiliki integritas dan pengabdian yang baik.
"Harusnya, yang bisa mengikuti pendidikan spesialis itu dokter yang sudah terbukti pengabdiannya. Yang sudah lama mau ditempatkan di daerah terpencil, di desa-desa, di puskesmas," katanya.
Peran Pemerintah dalam Mengurangi Beban Biaya
Menurut Dedi, pemerintah juga harus bisa mengintervensi agar tingginya biaya pendidikan tidak memberatkan dokter. Salah satunya dengan menyiapkan beasiswa bagi calon-calon dokter dan dokter spesialis.
"Kalau pemerintah ingin melahirkan dokter yang mengabdi ke negara, jangan biarkan dokter yang mengikuti pendidikan spesialis menderita sepanjang kuliahnya. Dia sudah berhenti praktik, menghabiskan uang untuk kuliah, ongkos. Hanya orang-orang kaya saja yang bisa mengikuti pendidikan spesialis ini," jelasnya.
Program Beasiswa untuk Dokter di Jawa Barat
Dedi memastikan bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Barat akan menyiapkan beasiswa bagi dokter yang akan mengikuti pendidikan gratis. Ia menyatakan bahwa di APBD 2026, akan ada program pendidikan gratis untuk dokter-dokter terbaik di Jawa Barat.
"Ini yang harus dilakukan. Kalau tidak, kami tidak akan melahirkan dokter-dokter pengabdi, dokter-dokter ikhlas," ucap Dedi.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!