Utang Membengkak, Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung Ancam Keuangan Negara

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Featured Image

Polemik Utang Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung

Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, yang dikenal dengan nama Whoosh, kini menjadi sorotan utama karena masalah utang yang semakin membesar. Indonesia kini berada dalam posisi yang tidak mudah, menghadapi beban pinjaman besar dari negara lain, terutama Tiongkok. Hal ini membuat ancaman keuangan negara semakin nyata dan perlu segera diatasi.

Skema Belt and Road Initiative dan Dampaknya

Laporan lembaga internasional pada Mei 2025 menunjukkan bahwa 75 negara miskin hingga berkembang sedang menanggung utang yang mencapai ratusan triliun rupiah kepada Tiongkok. Inisiatif Belt and Road Initiative (BRI) yang diinisiasi oleh Negeri Tirai Bambu awalnya tampak menjanjikan, namun di balik itu tersimpan jebakan utang yang kian mengancam banyak negara, termasuk Indonesia.

Dengan skema BRI, Tiongkok membiayai berbagai proyek infrastruktur di negara-negara lain, seperti sekolah, rumah sakit, dan transportasi. Namun, ujung-ujungnya, banyak negara terjebak dalam pinjaman dengan bunga yang meningkat tajam dan sulit untuk dilunasi. Dalam beberapa kasus, negara peminjam bahkan harus menyerahkan aset strategis sebagai kompensasi.

Biaya Proyek yang Membengkak

Proyek Whoosh sendiri sudah diawali dengan biaya yang sangat besar. Pada tahap awal tahun 2016, estimasi biaya mencapai US$ 6,02 miliar. Namun, seiring berjalannya waktu, terjadi pembengkakan biaya atau cost overrun hingga mencapai US$ 7,22 miliar.

Dari jumlah tersebut, sekitar 75 persen dipenuhi melalui pinjaman dari China Development Bank senilai US$ 5,415 miliar. Dengan bunga pokok sebesar 2 persen dan tambahan bunga 3,4 persen untuk cost overrun, konsorsium pengelola proyek, KCIC, wajib membayar bunga sebesar US$ 120,9 juta per tahun.

Masalah semakin berat karena operasional KCIC belum mencapai target penumpang. Artinya, kerugian terus terjadi, sementara beban bunga utang tetap harus dibayar.

Beban Laporan Keuangan BUMN

PT Kereta Api Indonesia (Persero) sebagai salah satu pemegang saham utama konsorsium terpaksa menanggung dampak besar dari proyek ini. Dalam paparan di DPR, KAI mencatat kerugian sebesar Rp 2,239 triliun pada 2024 dan Rp 1,246 triliun pada semester I 2025 hanya dari proyek Whoosh.

Selain itu, KAI harus menyisihkan dana melalui skema sinking fund senilai Rp 1,455 triliun. Dana cadangan ini bisa ditarik sewaktu-waktu untuk menutup biaya operasional Whoosh, seperti yang terjadi pada 2024 sebesar Rp 672 miliar dan Rp 349 miliar pada semester I 2025.

Jika kondisi ini terus berlangsung, beban utang besar kemungkinan akan dialihkan kepada BUMN induk lain seperti PT Wijaya Karya, PT Jasa Marga, dan PT Perkebunan Nusantara. Ujung-ujungnya, beban tersebut bisa berakhir di tangan negara, artinya menjadi tanggungan rakyat.

Risiko Jangka Panjang dan Dampak pada Ekonomi Nasional

Fenomena utang proyek Whoosh sejalan dengan pola global di mana banyak negara berkembang kesulitan membayar pinjaman besar kepada Tiongkok. Risiko gagal bayar tidak hanya mengancam kredibilitas pemerintah, tetapi juga berpotensi menekan APBN di masa mendatang.

Selain kerugian finansial, proyek ini juga menimbulkan kekhawatiran terkait pemanfaatan jangka panjang. Jumlah penumpang yang belum sesuai target menandakan adanya ketidakseimbangan antara biaya investasi dan penerimaan. Jika tidak segera dicarikan solusi, Whoosh bisa menjadi beban berkelanjutan.

Beberapa opsi penyelesaian sempat dibahas, mulai dari restrukturisasi utang hingga skema penyertaan modal negara. Namun, langkah tersebut tidak serta merta menyelesaikan akar masalah karena pembengkakan biaya proyek sudah terlalu besar.

Ancaman Keuangan Negara

Kasus kereta cepat Whoosh memberi gambaran nyata bagaimana proyek infrastruktur berbiaya jumbo dapat menjelma menjadi ancaman keuangan negara. Apa yang awalnya dijanjikan tidak membebani APBN justru kini berpotensi menggerus keuangan negara.

Situasi ini menegaskan bahwa kehati-hatian dalam mengambil pinjaman luar negeri, terutama dari skema inisiatif global seperti BRI, harus diperkuat. Jika tidak, Indonesia bisa terjerumus semakin dalam ke dalam lingkaran utang yang sulit untuk keluar.