
Kisah Syarah Sunami, Bayi yang Selamat dari Tsunami Pangandaran
Sehari setelah dilahirkan, hidup seorang bayi mungil harus diuji dengan kejadian dahsyat berupa tsunami yang melanda Pangandaran pada 17 Juli 2006. Dalam peristiwa tersebut, bayi itu terlepas dari pelukan ibunya yang tuna netra, terseret gelombang setinggi 10 meter, dan akhirnya ditemukan dalam keadaan selamat oleh warga. Dua puluh tahun kemudian, bayi itu tumbuh menjadi remaja yang tangguh dan penuh rasa syukur. Namanya adalah Syarah Sunami.
Syarah lahir pada hari Minggu, 16 Juli 2006 pukul 10.20 WIB di Dusun Golempang, Desa Ciliang, Kecamatan Parigi, Ciamis (kini Kabupaten Pangandaran). Keesokan harinya, gempa bumi dan tsunami menghantam pesisir selatan Jawa Barat. Rumah keluarga Utan (65) dan istrinya Juju Juarsih (40) rata diterjang air. Juju Juarsih, yang tuna netra, terkena reruntuhan dan kehilangan bayinya yang baru saja digendongnya. Dalam kepanikan, ia hanya bisa pasrah ketika Syarah terlepas dari pelukannya. Namun, takdir berkata lain. Beberapa jam kemudian, warga menemukan seorang bayi menangis di pematang sawah. Bayi itu selamat dan segera dibawa ke Puskesmas Parigi.
Kisah luar biasa ini sampai ke telinga Eka Santosa, saat itu anggota DPR RI yang datang meninjau lokasi bencana. Ia terenyuh ketika melihat bayi kecil itu, yang selamat dari maut di tengah begitu banyak korban jiwa. “Ini kebesaran Tuhan. Dari sekian banyak korban, ada satu bayi yang diberi hidup baru. Saya merasa ada panggilan moral untuk membantu. Akhirnya saya jadikan anak angkat,” ujar Eka.
Dari momen itulah, bayi itu diberi nama Syarah Sunami. Kata Syarah dimaknai sebagai reruntuhan rumah yang terseret air, sedangkan Sunami merujuk pada gelombang dahsyat yang mengubah hidup banyak orang hari itu.
Masa Kecil yang Penuh Perjuangan
Seiring bertambahnya usia, hidup Syarah tidak selalu mudah. Sejak kecil ia harus menghadapi masalah kesehatan pada matanya, sementara ekonomi keluarga sering kali membuatnya hampir berhenti sekolah. Namun, dengan tekad kuat ia tetap melanjutkan pendidikan. Setiap jenjang sekolah dari SD, SMP hingga SMK di Pangandaran dijalani dengan rasa syukur, meski penuh keterbatasan.
Syarah sempat bercita-cita menjadi pengusaha, namun mimpi itu harus tertunda karena kondisi keuangan. Dukungan dan harapan baru datang dari Eka Santosa, sosok yang sejak awal memberikan perhatian dan dukungan moral. Ikatan emosional yang terjalin sejak tragedi tsunami kembali menguatkan langkahnya untuk tidak menyerah.
Harapan Baru dan Masa Depan yang Cerah
Kini, setelah menamatkan pendidikan di SMK, Syarah ingin tetap melanjutkan masa depan dengan membuka usaha kecil sambil terus belajar. “Bahagia itu ketika bisa mensyukuri setiap langkah, meski banyak ujian. Saya sempat hampir berhenti sekolah, tapi alhamdulillah bisa tamat. Harapan saya, semoga bisa terus maju dan mandiri,” ujar Syarah.
Kisah hidup Syarah Sunami adalah simbol bahwa dari tragedi dan reruntuhan, selalu ada harapan baru yang tumbuh. Bayi ajaib yang dulu diselamatkan dari gulungan ombak kini menjadi remaja tangguh yang siap menatap masa depan. “Syarah adalah mukjizat Tuhan. Dari reruntuhan lahirlah kehidupan baru. Semoga ia terus tumbuh menjadi pribadi yang bermanfaat bagi banyak orang,” kata Eka Santosa penuh haru.
Tragedi Tsunami Pangandaran
Pada Senin, 17 Juli 2006 pukul 16.10 WIB, gempa bumi dan gelombang tsunami menghantam pesisir selatan Jawa Barat. Saat itu, keluarga Utan sedang berada di dapur rumah. Bayi Syarah digendong oleh ibunya. Tiba-tiba ombak setinggi ±10 meter menerjang rumah hingga hancur porak-poranda. Keluarga terpisah: Ayah Utan terseret reruntuhan ke arah utara, sementara ibu Juarsih terbawa arus ke arah barat, tertimpa reruntuhan tembok dan mengalami luka pada tangan kirinya. Dalam kondisi panik dan lemah, ia kehilangan bayinya yang terlepas dari gendongan, hanyut terbawa arus.
Beberapa waktu kemudian, Juarsih berhasil diselamatkan warga dari reruntuhan di pematang sawah. Utan pun berhasil keluar dari timbunan, lalu berlari mencari istrinya. Saat keduanya bertemu kembali, dengan tangis Juarsih berkata bahwa bayi mereka telah hilang terbawa ombak. Pasangan itu kemudian mencari tempat aman dan mengungsi ke Balai Desa Ciliang.
Penemuan Bayi
Kepala Dusun Golempang Anda Suteja mengatakan, sekitar pukul 21.00 WIB, Camat Parigi, Bapak H. Endin, memberi kabar bahwa seorang warga bernama Jumadi menemukan bayi perempuan sedang menangis di pematang sawah sekitar pukul 18.30 WIB. Bayi itu dibawa ke Puskesmas Parigi dan dirawat dalam inkubator. Dengan penuh rasa syukur, Utan dan Juarsih akhirnya bertemu kembali dengan putrinya dalam keadaan selamat.
Pada Rabu, 19 Juli 2006, rombongan DPR RI Komisi II yang dipimpin Bapak H. Eka Santosa datang ke pengungsian. Dalam kunjungan itu, Eka Santosa menanyakan nama bayi. Utan menamai bayi tersebut “Syarah” (artinya reruntuhan rumah yang terbawa air). Eka Santosa kemudian menambahkan nama “Sunami”, untuk mengenang kedahsyatan gelombang yang melatarbelakangi kisah hidupnya. Sejak saat itu, bayi tersebut dikenal dengan nama Syarah Sunami. Eka Santosa pun berinisiatif menjadikannya anak angkat sebagai bentuk kepedulian, dengan dukungan banyak pihak.
Demikianlah riwayat singkat kelahiran dan keselamatan bayi Syarah Sunami. Dari tragedi besar yang merenggut ratusan jiwa, lahirlah sebuah kisah penuh mukjizat dan kebesaran Tuhan. Semoga dari cobaan ini tumbuh hikmah dan harapan baru di masa depan.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!