Seleksi Hakim Agung di Tangan DPR

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Featured Image

Proses Seleksi Hakim Agung dan Keterlibatan Politik

Seleksi Hakim Agung bukan sekadar proses administratif. Proses ini menjadi bagian penting dari sistem peradilan, karena dari sinilah akan lahir para penjaga keadilan tertinggi. UUD 1945 Pasal 24A ayat (3) menegaskan bahwa calon Hakim Agung diusulkan oleh Komisi Yudisial (KY) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mendapatkan persetujuan, sebelum kemudian ditetapkan oleh Presiden. Mekanisme ini dimaksudkan sebagai check and balance, tetapi dalam praktiknya sering kali berubah menjadi arena tarik-menarik kepentingan.

Kini, publik menyaksikan kembali bagaimana DPR, khususnya Komisi III, menggelar uji kelayakan dan kepatutan terhadap 16 calon, terdiri dari 13 Hakim Agung dan 3 Hakim Ad Hoc HAM. Nama-nama yang diajukan KY berasal dari latar belakang beragam: hakim karier, hakim pengadilan pajak, auditor, hingga akademisi. Sejak awal September, satu per satu mereka duduk di kursi panas ruang rapat Komisi III, memaparkan gagasan, diuji integritas, dan diserbu pertanyaan para legislator.

Di atas kertas, ini adalah proses yang ideal: keterlibatan KY sebagai pengusul, DPR sebagai penyaring, dan Presiden sebagai pengesah. Namun, realitas politik membuat publik sering kali bertanya: apakah seleksi ini sungguh-sungguh memilih yang terbaik untuk keadilan, ataukah hanya sekadar melanggengkan kompromi politik di ruang Senayan?

Integritas sebagai Kunci Utama

Integritas adalah kata kunci dalam seleksi Hakim Agung. Hakim Agung bukan sekadar teknokrat hukum; ia simbol keadilan yang seharusnya tak tergoyahkan oleh tekanan politik, uang, atau kepentingan kelompok. KY menegaskan bahwa nama-nama yang mereka serahkan telah melalui proses berlapis: seleksi administrasi, uji kualitas, pemeriksaan kesehatan dan psikologi, rekam jejak, hingga keterlibatan lembaga lain seperti KPK, PPATK, Komnas HAM, Kemenkeu, dan RSPAD.

Namun, integritas di atas kertas sering kali tidak sejalan dengan praktik di lapangan. Publik masih mengingat kasus-kasus pelanggaran etik hingga operasi tangkap tangan yang melibatkan hakim, bahkan di lingkungan Mahkamah Agung. Tidak sedikit yang memandang bahwa DPR hanya menjadi “stempel politik” untuk meloloskan nama-nama tertentu. Pertanyaan kritisnya: sejauh mana integritas sungguh diutamakan, dan sejauh mana loyalitas serta afiliasi menjadi pertimbangan?

Ketika seorang calon Hakim Agung ditanya motivasinya mengikuti seleksi untuk kelima kali, jawaban normatif tentang “komitmen memperbaiki peradilan” terdengar baik. Tetapi, publik tentu menanti bukti, bukan sekadar retorika. Integritas tak cukup ditunjukkan dengan kata, melainkan dengan rekam jejak yang konsisten.

Politik dalam Proses Seleksi

Di sinilah masalahnya. Seleksi Hakim Agung bukan hanya soal hukum, melainkan juga politik. Komisi III DPR adalah ruang yang sarat dengan kepentingan partai, fraksi, dan bahkan lobi di balik layar. Pertanyaan yang diajukan sering kali lebih mencerminkan posisi politik daripada kebutuhan yudisial.

Kita tak bisa menutup mata, bahwa setiap fraksi ingin meninggalkan jejak pengaruh dalam seleksi. Hakim Agung yang duduk di Mahkamah Agung bukan hanya akan menangani perkara individu, tetapi juga perkara politik, bisnis besar, hingga sengketa yang melibatkan pejabat negara. Inilah mengapa kursi Hakim Agung sangat strategis, dan mengapa DPR menjadi ruang politik yang sesungguhnya dalam proses seleksi.

Padahal, hukum seharusnya berdiri di atas politik, bukan terjebak di dalamnya. Semakin jauh DPR menyeret seleksi hakim ke dalam logika politik dagang sapi, semakin rusak kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.

Suara Publik dalam Proses Seleksi

Di tengah proses seleksi, suara publik kerap terdengar sayup. Transparansi memang dijaga melalui mekanisme wawancara terbuka oleh KY, bahkan ada ruang bagi masyarakat untuk memberikan masukan. Tetapi ketika proses sudah masuk ke DPR, publik hanya bisa menyaksikan dari jauh.

Ruang politik DPR sering kali kedap terhadap suara rakyat. Padahal, konsekuensi dari seleksi ini langsung menyentuh publik. Hakim Agung akan memutus perkara yang menentukan nasib masyarakat, dari sengketa pajak, perkara korupsi, hingga hak asasi manusia.

Di sinilah letak paradoks: rakyat adalah pemilik kedaulatan, tetapi tidak punya suara langsung dalam menentukan siapa yang akan duduk di kursi agung. Yang tersisa hanya harapan bahwa legislator di Senayan masih memiliki nurani untuk mendengar suara rakyat, bukan sekadar suara fraksi.

Keadilan yang Diinginkan

Keadilan adalah tujuan utama, namun ia sering tereduksi menjadi jargon. Proses seleksi Hakim Agung seharusnya berfokus pada satu hal: menghadirkan keadilan substantif bagi rakyat. Bukan keadilan yang diatur oleh kompromi politik, melainkan keadilan yang lahir dari integritas, kapasitas, dan independensi hakim.

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam uji kelayakan seharusnya menggali visi besar keadilan. Bagaimana calon hakim memandang korupsi yang merajalela? Bagaimana mereka menyikapi kasus pelanggaran HAM yang mandek? Bagaimana gagasan mereka dalam memperkuat transparansi dan akuntabilitas Mahkamah Agung?

Sayangnya, tak jarang pertanyaan justru lebih menekankan formalitas, atau bahkan sekadar mencari celah sensasional. Keadilan pun tergeser oleh panggung politik.

Harapan untuk Masa Depan

Meski penuh catatan kritis, kita tidak boleh kehilangan harapan. Seleksi Hakim Agung tahun 2025 adalah momentum penting. Dengan 12 hakim purnabakti yang pensiun, wajah Mahkamah Agung akan berubah signifikan. Komposisi baru ini bisa menjadi peluang untuk memperbaiki marwah lembaga peradilan yang kerap tercoreng.

Harapan publik sederhana: agar DPR menjalankan fungsinya secara bertanggung jawab, memilih calon bukan karena afiliasi politik, tetapi karena kapasitas dan integritas. Jika DPR gagal, kepercayaan rakyat terhadap hukum akan semakin tergerus. Tetapi jika DPR berhasil, ini akan menjadi titik balik dalam membangun kembali legitimasi Mahkamah Agung.

Seleksi Hakim Agung bukan hanya tentang nama-nama yang duduk di kursi agung. Ia adalah cermin dari kualitas demokrasi dan negara hukum kita. Saat DPR membuka pintu politik ke dalam ruang seleksi, risiko besar mengintai: hukum bisa kehilangan wibawanya, dan keadilan bisa berubah menjadi komoditas.

Namun, ketika integritas benar-benar diutamakan, proses ini dapat menjadi titik terang. Hakim Agung yang lahir dari seleksi bersih akan menjadi benteng terakhir rakyat mencari keadilan. Pada akhirnya, sejarah akan mencatat: apakah DPR menjadikan ruang seleksi ini sebagai panggung politik, ataukah sebagai ruang untuk menegakkan keadilan?