Pengusaha Bus Bingung dengan Aturan Royalti Musik yang Tidak Jelas

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Featured Image

Kebingungan Pengusaha Bus Akibat Aturan Royalti Musik

Penerapan aturan royalti musik yang belakangan ini menjadi perbincangan hangat di kalangan pengusaha transportasi membuat banyak pihak merasa bingung. Aturan tersebut, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 56 Tahun 2021, dinilai tidak jelas dan kurang disosialisasikan secara baik kepada pelaku usaha. Hal ini menimbulkan berbagai kekhawatiran, terutama dari para pengusaha bus yang mengeluhkan kesulitan dalam memahami aturan yang diberlakukan.

Kurnia Lesani Adnan, Ketua Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia (Ipomi), menyampaikan bahwa pihak terkait, khususnya Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), belum memberikan sosialisasi yang memadai mengenai aturan tersebut. Ia menegaskan bahwa selama penyusunan aturan, tidak ada diskusi, uji materi, atau uji publik yang dilakukan dengan melibatkan pelaku usaha.

“Kami jauh dari paham dan sulit untuk paham. Tidak pernah ada diskusi dalam penyusunan, uji materi, uji publik, dan sosialisasi yang baik terhadap aturan ini,” ujarnya saat diwawancara.

Dampak dari ketidakjelasan aturan ini sangat terasa. Banyak angkutan bus antar kota dalam provinsi (AKDP), antar kota antar provinsi, hingga bus pariwisata memilih mematikan musik selama operasional. Tindakan ini dilakukan sebagai langkah pencegahan agar tidak terkena masalah hukum.

“Bisa dilihat di media sosial dan di seluruh angkutan umum orang, kami mematikan audio bus saat beroperasi,” kata Sani.

Menurut Sani, PP No. 56 Tahun 2021 lebih ditujukan untuk aktivitas musik komersial, bukan untuk pemutaran musik di bus yang hanya digunakan sebagai fasilitas tambahan. Ia menegaskan bahwa benchmark-nya bukan terhadap tempat umum seperti kafe atau restoran, tetapi lebih pada aktivitas komersial.

“Sementara kami hanya menggunakan musik sebagai fasilitas tambahan,” ujarnya.

Meskipun hingga kini belum ada anggota Ipomi yang diminta membayar royalti, rasa khawatir sudah mulai muncul. Ia khawatir jika tidak segera menerapkan aturan ini, maka bisa saja terjadi hal serupa seperti yang dialami kedai mie kekinian di Bali.

“Pastinya kejadian di kedai mie menjadi contoh konkret, cepat atau lambat akan terjadi dengan kami,” ujarnya.

Sani meminta pemerintah dan lembaga terkait untuk duduk bersama dengan pelaku usaha guna mencari solusi yang adil. Ia berharap semua pihak dapat sepakat dengan cara yang rasional dan jelas.

“Mereka bicara dan sepakati yang baik dengan rasional yang jelas saja. Pemerintah harus segera mengkaji ulang aturan yang sudah bikin gaduh ini,” pungkasnya.