
Pemimpin sebagai Cermin Kondisi Rakyat
Setiap kali masyarakat merasa tidak puas dengan kualitas kepemimpinan, seringkali kita tidak pernah bertanya: apakah pemimpin lahir dari ruang kosong atau dari rakyat yang memilih dan membentuknya? Dalam Islam, terdapat sebuah prinsip yang sering disampaikan:
"Sebagaimana keadaan rakyat, demikianlah pemimpin yang Allah angkat untuk mereka."
Meskipun ungkapan ini bukan hadis dengan sanad kuat, maknanya sejalan dengan Al-Qur’an dan pandangan para ulama. Prinsip ini menjelaskan bahwa kepemimpinan adalah cermin dari kondisi masyarakat. Jika masyarakat memiliki nilai-nilai yang buruk, maka pemimpin yang muncul pun akan mencerminkan sifat-sifat tersebut.
Al-Qur’an juga menegaskan hubungan erat antara amal suatu kaum dengan pemimpin yang mereka dapatkan. Dalam QS. Al-An‘am: 129, Allah berfirman, “Demikianlah Kami jadikan sebagian orang zalim menjadi pemimpin bagi sebagian yang lain, disebabkan apa yang mereka usahakan.” Ayat ini menunjukkan hukum sebab-akibat: rakyat yang terbiasa dengan kezaliman, kebiasaan buruk, dan penyimpangan akan dipimpin oleh orang yang memiliki sifat sama.
Dalam konteks ini, hadis yang sering dikutip adalah: “Sebagaimana keadaan kalian, demikianlah para pemimpin kalian.” Meskipun sebagian ulama menilai sanadnya lemah, makna yang terkandung diperkuat oleh realitas sejarah. Kualitas pemimpin selalu berkaitan dengan kondisi masyarakatnya.
Ibnul Qayyim al-Jauziyah, seorang ulama besar, dalam kitab al-Jawāb al-Kāfi menulis: "Pemimpin adalah bayangan amal rakyatnya. Jika mereka lurus, maka pemimpin mereka lurus. Jika mereka rusak, Allah kuasakan atas mereka pemimpin yang serupa dengan mereka." Ibn Taymiyyah, yang hidup pada abad ke-7 Hijriyah, juga mengingatkan bahwa keadilan adalah pilar utama dalam sebuah negara. Negara bisa bertahan dengan keadilan, tetapi bisa hancur dengan kezaliman. Namun, keadilan pemimpin tidak mungkin hadir tanpa kesadaran kolektif dari rakyat untuk menegakkan kebenaran.
Realitas Indonesia sebagai Contoh
Indonesia adalah laboratorium nyata dari konsep ini. Banyak rakyat mengeluh tentang pemimpin yang hanya mementingkan kelompoknya sendiri, sibuk dengan pencitraan, dan gemar memperkaya diri. Namun, jarang sekali kita jujur menengok cermin: bukankah sebagian rakyat juga terbiasa dengan praktik yang sama dalam skala kecil?
Ketika ada operasi lalu lintas, sebagian rakyat memilih menyogok polisi ketimbang menerima surat tilang. Saat ada penerimaan pegawai, orang-orang mencari jalur titipan agar bisa masuk lebih mudah. Dalam pemilu, sebagian rakyat rela menjual suaranya demi uang, sembako, atau janji sesaat. Praktik kecil inilah yang menjadi fondasi suburnya korupsi, kolusi, dan nepotisme di level elite. Maka tidak heran bila pemimpin yang lahir hanyalah refleksi dari watak rakyatnya sendiri.
Fenomena politik uang misalnya, sudah menjadi bagian yang hampir dianggap "normal" setiap kali pemilu berlangsung. Rakyat sadar bahwa uang yang diterima hari ini akan dibayar mahal dengan kebijakan merugikan di masa depan. Namun tetap saja, suara dijual murah. Akibatnya, pemimpin yang terpilih hanya peduli pada cara balik modal politik, sementara rakyat sendiri yang akhirnya menanggung akibatnya.
Begitu pula dengan politik dinasti. Fenomena ini kini merajalela, dan bukan hanya kebobrokan elite. Ia terjadi karena rakyat permisif, bahkan rakyat bangga bisa dipimpin keluarga presiden atau anak pejabat. Padahal, ini bertentangan dengan prinsip meritokrasi. Demokrasi kita digiring menjadi oligarki, tetapi rakyat ikut memberi jalan.
Solusi yang Harus Dimulai dari Diri Sendiri
Jika kita melihat sejarah dunia, pola ini bukan hal baru. Di Romawi Kuno, Kaisar Nero dikenal zalim dan hedonis, tetapi rakyatnya pun tenggelam dalam budaya pesta dan syahwat. Di Timur Tengah, Dinasti Abbasiyah runtuh bukan hanya karena pemimpin lalai, melainkan karena rakyat ikut larut dalam dekadensi moral. Sebaliknya, negara-negara dengan rakyat yang disiplin dan jujur cenderung melahirkan pemimpin yang kuat.
Islam tidak hanya menyalahkan pemimpin. Islam menegaskan akar persoalan ada di dua sisi: rakyat dan pemimpin. Keduanya saling mencerminkan. Karena itu, solusi tidak bisa hanya mengandalkan pergantian elite, tetapi perbaikan menyeluruh. Perubahan harus dimulai dari dalam diri rakyat, karena pemimpin adalah produk dari kultur sosial yang membentuknya.
Rakyat harus belajar untuk tidak permisif terhadap kecurangan sekecil apa pun. Jika rakyat terbiasa jujur, maka akan tercipta ekosistem politik yang sulit ditunggangi oleh elite oportunis. Kesadaran politik juga harus dibangun dengan literasi dan keteguhan prinsip.
Demokrasi tidak akan melahirkan pemimpin baik jika rakyat masih pragmatis dan mudah dibeli dengan uang atau sembako. Selain itu, keadilan hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu agar rakyat percaya bahwa integritas itu nyata, bukan sekadar jargon. Tanpa keadilan hukum, rakyat akan terus terbiasa mencari jalan pintas, dan elite akan merasa bebas bermain kuasa.
Pada akhirnya, teladan pemimpin tetap penting. Rakyat akan meniru apa yang dilihat. Jika pemimpin hidup sederhana dan adil, rakyat lebih mudah diarahkan ke jalan yang benar. Namun, jika pemimpin penuh sandiwara dan pencitraan, rakyat pun belajar untuk melakukan hal serupa dalam skala kecil. Hubungan ini selalu timbal balik.
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Ayat ini menegaskan bahwa perubahan sejati dimulai dari bawah, bukan dari atas. Maka, solusi kepemimpinan bukan hanya di bilik suara, tetapi di dalam hati dan perilaku sehari-hari.
Pemimpin negeri ini memang banyak yang bobrok. Tetapi sekadar mengutuk pemimpin tanpa menjadi bagian dari solusi dan mulai berbenah adalah seperti marah pada cermin tanpa membersihkan wajah. Jika bangsa ini ingin keluar dari lingkaran setan pemimpin zalim dan rakyat permisif, perbaikilah mental rakyatnya. Karena pemimpin tidak turun dari langit, melainkan lahir dari rahim masyarakat. Selama wajah bangsa ini masih keruh, jangan salahkan kaca yang memantulkannya.
Kita mulai dengan mengingatkan diri sendiri untuk berpegang teguh pada integritas dan mulai menerapkan prinsip dasar yang menjauhi perilaku Korupsi, Kolusi, Nepotisme.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!