
Kritik Terhadap Sistem Pemilu dan Rekomendasi Perubahan
Dalam beberapa waktu terakhir, wacana tentang revisi Undang-Undang Pemilu kembali menjadi sorotan. Hal ini diawali dari kritik yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra, mengenai kualitas anggota DPR yang tidak sepenuhnya berdasarkan kapasitas legislasi atau visi kebangsaan, melainkan lebih pada popularitas. Ia menyoroti fenomena artis dan tokoh publik yang dengan mudah memperoleh kursi di Senayan hanya karena ketenaran mereka.
Kritik ini sebenarnya bukan hal baru. Dalam berbagai studi akademik, sistem proporsional terbuka yang saat ini diterapkan dinilai memicu personalisasi politik, biaya kampanye yang tinggi, serta penurunan kualitas representasi rakyat. Sebaliknya, sistem proporsional tertutup—di mana rakyat memilih partai, bukan calon individu—diklaim mampu mengembalikan marwah demokrasi yang lebih berbasis pada gagasan daripada popularitas.
Keunggulan Sistem Proporsional Tertutup
Sistem proporsional tertutup memiliki beberapa keunggulan dibandingkan sistem proporsional terbuka. Pertama, sistem ini mendorong kaderisasi partai yang lebih baik. Partai politik sebagai pilar utama demokrasi cenderung pragmatis dalam sistem proporsional terbuka karena bergantung pada figur populer, bukan kader internal. Akibatnya, kaderisasi mandek dan partai kehilangan jati diri.
Dengan sistem proporsional tertutup, partai akan lebih serius dalam membangun mekanisme kaderisasi berjenjang. Hal ini sejalan dengan amanat Pasal 11 UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, yang menegaskan fungsi partai sebagai sarana pendidikan politik dan rekrutmen kepemimpinan. Dengan sistem ini, kita tidak lagi melihat figur yang disebut sebagai kader partai padahal baru saja membuat KTA atau beralih dari partai lain.
Selain itu, sistem proporsional tertutup juga dapat mengurangi praktik politik uang. Dalam sistem proporsional terbuka, kompetisi tidak hanya antarpartai tetapi juga antarcalon dalam satu partai, sehingga mendorong penggunaan dana kampanye yang sangat besar. Studi dari Perludem (2022) menunjukkan bahwa mayoritas caleg menghabiskan biaya kampanye tinggi hanya untuk mengalahkan rekan separtai.
Dengan sistem tertutup, persaingan antarindividu ditekan dan kontestasi difokuskan pada visi, program, dan kinerja partai secara kolektif. Praktik politik uang bisa diminimalisasi karena yang dipilih adalah partai, bukan calon individu.
Memperkuat Kelembagaan Partai
Demokrasi tidak boleh menjadi sekadar "kompetisi popularitas". Larry Diamond (2008) menyebut demokrasi substantif hanya bisa lahir jika partai politik berfungsi efektif sebagai institusi representasi. Dengan sistem proporsional tertutup, partai bisa menunjukkan identitas ideologis dan platform kebijakan, alih-alih mengandalkan pesona figur semata untuk mendulang suara rakyat.
Di banyak negara demokrasi mapan seperti Afrika Selatan dan Spanyol, sistem proporsional tertutup digunakan dengan hasil parlemen yang lebih fokus pada partai dan isu, bukan personalitas.
Esensi Kedaulatan Rakyat
Beberapa pihak khawatir sistem tertutup akan mereduksi kedaulatan rakyat karena tidak bisa memilih caleg langsung. Namun, perlu ditegaskan bahwa kedaulatan rakyat tetap terjamin, di mana rakyat memilih partai yang mereka percaya, sementara partai berkewajiban menyeleksi calon anggota legislatif terbaiknya. Jika mekanisme rekrutmen partai dijalankan secara transparan dan demokratis, maka kualitas wakil rakyat yang terpilih akan lebih baik.
Pemilih tidak lagi terjebak dalam “jebakan popularitas”, melainkan benar-benar memilih berdasarkan platform perjuangan politik. Meskipun sistem ini memiliki potensi oligarki partai, solusinya bukan dengan menolak sistem tertutup, melainkan dengan memperkuat regulasi internal partai dan pengawasan publik.
Penutup
Revisi UU Pemilu adalah momentum penting untuk melakukan koreksi mendasar atas kualitas demokrasi kita. Kritik Yusril tentang maraknya artis di DPR hanyalah puncak gunung es dari problem sistem proporsional terbuka yang selama ini kita jalankan. Dengan berani kembali ke sistem proporsional tertutup, kita menempatkan partai sebagai pusat pendidikan politik, mengurangi biaya demokrasi yang kian mahal, serta mengembalikan arah representasi politik dari sekadar popularitas menuju kualitas.
Karena itu, demi marwah demokrasi dan masa depan bangsa, pilihan untuk mempertimbangkan proporsional tertutup bukanlah langkah mundur, melainkan lompatan strategis ke arah demokrasi yang lebih substantif.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!