Membangun Kesadaran Hukum, Memperkuat Martabat Desa

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Featured Image

Kesadaran Hukum dan Potensi Ekonomi Desa

Di ruang pertemuan Raja Hotel, Mandalika, hadir berbagai unsur masyarakat—kepala desa, perangkat, pemuda pelopor, pengurus koperasi desa, dan lainnya. Mereka duduk mendengarkan narasi hukum yang disampaikan dalam bahasa pemberdayaan. Di hadapan mereka, pesan itu jelas: koperasi desa/kelurahan bukan sekadar wadah ekonomi, melainkan ruang moral penguji integritas.

Wakil Bupati Lombok Tengah membuka acara dengan nada optimistis. Namun di balik sambutannya, terselip sebuah pertanyaan reflektif: mampukah desa menjaga koperasi agar tidak tergelincir dalam jebakan klasik—korupsi dan penyalahgunaan kewenangan? Pertanyaan itu bergema di antara dinding hotel, memanggil kesadaran kolektif yang kerap terlupa.

Biro Hukum Kementerian Desa menjadi tuan rumah. Namun, lebih dari sekadar agenda formal, sosialisasi ini terasa seperti cermin. Desa-desa di Lombok Tengah diundang untuk menatap wajahnya sendiri, bercermin pada perjalanan panjang koperasi di desa yang sering jatuh bangun. Apakah kita benar-benar telah belajar dari luka lama?

Tiga narasumber tampil, bukan sebagai pengajar yang berdiri lebih tinggi, tetapi sebagai sahabat yang mengetuk nurani. Mereka menghadirkan suara hukum, ekonomi, dan pengawasan. Dari perspektif inilah, koperasi desa dilihat tidak hanya sebagai instrumen teknis, melainkan arena kehidupan sosial yang penuh risiko dan peluang.

Kesadaran hukum pada akhirnya bukan sekadar menghindari jerat hukum. Ia adalah soal martabat. Desa yang sadar hukum adalah desa yang menjaga harga diri warganya, menolak untuk diperbudak oleh praktik culas, dan berani membangun masa depan dengan kejujuran.

Menggali Potensi, Menolak Pasrah

Sesi pertama dibuka oleh Lalu Rinjani, Kepala Dinas PMD Lombok Tengah. Ia menekankan betapa desa bukanlah entitas kecil yang pasif menunggu uluran. Desa memiliki potensi ekonomi yang besar, yang bisa diolah melalui BUM Desa dan koperasi. Optimisme itu disampaikan dengan keyakinan mendalam.

Namun, potensi tidak pernah menjelma menjadi kekuatan jika desa hanya pasrah pada nasib. Perlu keberanian kolektif membaca peluang, menata administrasi, hingga berani mengambil risiko yang terukur. BUM Desa dan Koperasi Merah Putih adalah laboratorium keberanian itu.

Bagi sebagian desa, koperasi kadang dipandang sebatas formalitas. Ada kantor, ada pengurus, ada rapat tahunan—tetapi roda ekonomi tidak bergerak. Lalu Rinjani mengingatkan, koperasi harus hidup. Ia harus menjadi urat nadi yang mengalirkan manfaat langsung bagi anggota dan masyarakat desa.

Optimisasi potensi desa bukanlah soal modal besar dari Dana Desa. Ia harus berangkat dari hal sederhana: tanah, keterampilan, kreativitas, dan solidaritas. Ketika desa berani mengolah potensi itu, maka koperasi tak hanya menjadi institusi ekonomi, melainkan sumber harapan baru.

Pada titik inilah kesadaran hukum dan kesadaran ekonomi bertemu. Desa tidak hanya dituntut pintar mengelola uang, tetapi juga bijak menjaga moralitas. Potensi desa sejatinya adalah kekuatan moral masyarakatnya. Dan koperasi hanya bisa besar bila ditopang kejujuran kolektif.

Koperasi Sebagai Ruang Belajar Kejujuran

Sesi kedua menghadirkan Iksan, S.Hut, Kepala Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Lombok Tengah. Ia berbicara tentang peran strategis koperasi sebagai rumah pemberdayaan ekonomi. Tetapi, lebih dari itu, ia memperkenalkan sebuah terobosan: Klinik Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih.

Klinik koperasi ini bukan sekadar ruang konsultasi administratif. Ia dihadirkan sebagai tempat belajar. Di sana, desa-desa bisa bertanya, berbagi masalah, bahkan mengadu. Klinik ini adalah simbol kepedulian, bahwa pemerintah hadir bukan hanya untuk mengawasi, tetapi juga mendampingi.

Dalam narasi Iksan, koperasi bukan hanya lembaga ekonomi. Ia adalah ruang belajar kejujuran. Setiap buku kas yang ditulis dengan benar adalah latihan moral. Setiap keputusan rapat yang diambil dengan musyawarah adalah penguatan budaya demokrasi. Setiap anggota yang percaya, sesungguhnya sedang membangun peradaban.

Namun, kita juga tahu bahwa praktik koperasi sering berhadapan dengan godaan besar: uang yang mengalir, kekuasaan kecil yang menjerat, dan hasrat memperkaya diri. Disinilah koperasi diuji. Bukan pada laporan tahunan yang rapi, melainkan pada seberapa besar ia menolak pengkhianatan kepercayaan anggotanya.

Koperasi yang sehat sesungguhnya adalah sekolah kehidupan. Ia mengajarkan arti menabung, berbagi risiko, hingga menahan diri dari kerakusan. Dan jika desa mampu menjadikan koperasi sebagai ruang pendidikan moral, maka ia telah menanam benih peradaban yang lebih besar.

Korupsi: Luka Lama yang Harus Dicegah

Sesi ketiga ditutup oleh Dr. Putri Ayu Wulandari, SH., MH, Kepala Kejaksaan Negeri Lombok Tengah. Suaranya tegas, namun tidak menggurui. Ia berbicara tentang pencegahan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan koperasi. Sebuah pesan yang terasa pedih, tetapi sangat relevan.

Korupsi selalu menjadi hantu di balik pengelolaan dana desa, koperasi, dan BUM Desa. Kita sering mendengar kisah koperasi yang bubar karena pengurusnya tergoda. Seperti lingkaran setan, kepercayaan yang runtuh membuat masyarakat enggan bergabung lagi, dan koperasi pun mati muda.

Dr. Putri Ayu mengingatkan bahwa pencegahan jauh lebih penting daripada penindakan. Desa harus membangun budaya transparansi sejak awal. Administrasi yang rapi, rapat yang terbuka, laporan yang dipublikasikan—semua adalah vaksin moral agar koperasi tidak sakit oleh penyakit klasik bernama korupsi.

Tetapi yang lebih penting dari itu, pencegahan korupsi harus berakar dari kesadaran moral warga desa. Kejaksaan hanya bisa menindak, tetapi masyarakatlah yang menentukan apakah koperasi menjadi arena gotong royong atau sekadar tempat menumpuk dosa kolektif.

Epilog: Menjaga Martabat Desa

Pada akhirnya, koperasi hanyalah cermin. Di dalamnya, wajah desa dengan dana desanya bisa tampak jernih atau keruh, tergantung sejauh mana kesadaran hukum dan moral dijaga. Sosialisasi di Mandalika memberi kita pengingat bahwa pemberdayaan sejati bukan sekadar urusan angka, modal, atau program. Ia adalah soal keberanian untuk jujur, untuk menolak godaan singkat demi menjaga kepercayaan jangka panjang.

Desa yang berdaulat adalah desa yang berani berkata tidak pada korupsi, berani berkata ya pada kejujuran. Pemuda pelopor, perangkat desa, dan pengurus koperasi desa adalah aktor-aktor yang kelak menulis bab baru sejarah desa. Bab yang mudah-mudahan ditandai bukan oleh berita penyalahgunaan dana, melainkan kisah-kisah inspiratif tentang gotong royong dan kemandirian.

Kita sedang berjalan di jalan panjang menuju martabat. Jalan yang tidak selalu mulus, tetapi penuh peluang. Dan koperasi desa, jika dikelola dengan kesadaran hukum dan nurani yang jernih, bisa menjadi lentera kecil yang menerangi perjalanan itu.