
KPK Mengungkap Dampak Korupsi Kuota Haji terhadap Subsidi Biaya Perjalanan Haji
Korupsi dalam pengelolaan kuota haji 2024 tidak hanya merugikan masyarakat yang ingin melakukan ibadah haji, tetapi juga berdampak pada subsidi biaya perjalanan haji yang seharusnya dikelola oleh pemerintah. Hal ini disampaikan oleh Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, yang menjelaskan bagaimana perubahan pembagian kuota haji memengaruhi alokasi dana subsidi.
Menurut Asep, kuota haji tambahan 20 ribu yang diberikan oleh Arab Saudi seharusnya dibagi sesuai dengan ketentuan UU, yaitu 92% untuk haji reguler dan 8% untuk haji khusus. Namun, saat ini pembagian kuota tersebut berubah menjadi 50%-50%. Akibatnya, jumlah kuota haji reguler menurun, sehingga mengurangi pendapatan negara dari biaya pendaftaran jemaah haji.
Proses Pengelolaan Dana Haji Reguler
Dalam pelaksanaan haji, jemaah haji reguler biasanya membayar biaya pendaftaran sebesar Rp 25 juta. Uang tersebut akan dikelola oleh BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji) dan digunakan sebagai subsidi untuk keperluan biaya haji. Selain itu, hasil pengelolaan dana tersebut juga digunakan untuk menutupi kekurangan subsidi yang diberikan kepada jemaah haji.
Asep menjelaskan bahwa dengan pembagian kuota yang berubah, jumlah uang yang dikelola pemerintah juga turun. "Yang seharusnya dikelola oleh pemerintah ada 18.400, kemudian hanya menjadi 10.000, karena yang 8.400-nya dialihkan menjadi kuota khusus," katanya.
Karena kuota haji reguler menurun, pengelolaan dana pun ikut mengalami penurunan. "Jadi tidak ada uang yang dikelola karena langsung digunakan. Jadi hanya masuk terus keluar lagi untuk digunakan," ujarnya.
Kasus Korupsi Kuota Haji yang Sedang Disidik KPK
KPK saat ini sedang menyidik kasus korupsi kuota haji 2024. Awalnya, Presiden Jokowi pada 2023 silam mendapatkan 20 ribu kuota tambahan haji dari Arab Saudi. Informasi ini kemudian didengar oleh asosiasi travel haji yang langsung menghubungi Kementerian Agama (Kemenag) untuk membahas pembagian kuota haji.
Diduga, para travel haji mencoba agar kuota haji khusus lebih besar dari ketentuan yang berlaku. Seharusnya, kuota haji khusus hanya boleh maksimal 8% dari total kuota haji Indonesia. Namun, dalam rapat tertentu, kuota tambahan tersebut dibagi rata antara haji khusus dan reguler dengan perbandingan 50%-50%.
Keputusan ini tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 130 Tahun 2024 yang ditandatangani oleh Menag saat itu, Yaqut Cholil Qoumas alias Gus Yaqut. KPK masih mendalami hubungan antara SK tersebut dengan rapat sebelumnya.
Selain itu, KPK juga menemukan adanya dugaan setoran yang diberikan oleh para travel haji yang mendapat kuota khusus tambahan ke oknum di Kemenag. Besaran setoran berkisar antara USD 2.600 hingga USD 7.000 per kuota. Uang tersebut diduga disetorkan melalui asosiasi haji dan kemudian diserahkan ke oknum di Kemenag.
Kerugian Negara dan Langkah KPK
Dari hasil penghitungan sementara, kerugian negara akibat kasus ini mencapai lebih dari Rp 1 triliun. Kerugian ini terjadi karena perubahan kuota haji reguler menjadi khusus, sehingga dana haji yang seharusnya dikelola negara malah mengalir ke pihak swasta.
Dalam penyidikan kasus ini, KPK telah mencegah tiga orang dari bepergian ke luar negeri. Mereka adalah mantan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas; mantan staf khusus Menag, Ishfah Abidal Aziz alias Gus Alex; dan bos travel Maktour, Fuad Hasan Masyhur.
Selain itu, KPK juga telah melakukan penggeledahan di beberapa lokasi, seperti rumah Gus Yaqut, Kantor Kemenag, tiga kantor asosiasi travel haji, kantor travel Maktour, serta rumah ASN Kemenag dan rumah di Depok yang diduga kediaman Gus Alex.
Terbaru, KPK juga menyita dua unit rumah di Jakarta Selatan senilai Rp 6,5 miliar dari seorang ASN Ditjen PHU Kemenag. Diduga, rumah tersebut dibeli dari uang hasil korupsi kuota haji. Gus Yaqut melalui pengacaranya, Mellisa Anggraini, menyatakan menghormati upaya KPK dalam mengungkap perkara ini.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!