
Perusahaan Papua Mitra Nusantara Group Mengklaim Rugi Akibat Sengketa Tanah
Perusahaan Papua Mitra Nusantara Group mengalami kerugian akibat sengketa tanah yang terjadi di Kampung Yobeh, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. Sengketa ini berkaitan dengan tanah UPTD Puskesmas Khomba Waliyauw yang disengketakan oleh kelompok masyarakat adat. Hal ini disampaikan oleh pimpinan perusahaan, Hengky Yokhu, dalam jumpa pers di Sentani pada Rabu (10/9/2025).
Hengky menjelaskan bahwa tanah tersebut memiliki sertifikat yang diperoleh perusahaan sejak tahun 2013 dari Pendeta Hosea Wally sebagai pemilik hak ulayat. Meskipun fasilitas pemerintah telah dibangun di atas tanah tersebut, perusahaan tetap wajib membayar pajak penerangan dan air.
Menurut Hengky, Pemerintah Kabupaten Jayapura dinilai tidak memenuhi tanggung jawabnya dalam menyelesaikan kewajiban terkait tanah tersebut. Ia menyebut bahwa ada perjanjian lisan pada tahun 2019 yang menyatakan bahwa pembayaran lahan seluas 12.980 meter persegi harus lunas sebelum akhir 2022. Namun, berjalannya waktu, pemerintah dinilai memberikan ruang kepada masyarakat adat melalui surat yang ditunjukkan oleh kelompok masyarakat adat, yang mengakui lokasi tanah puskesmas milik ulayat.
Padahal, tanah tersebut sudah bersertifikat. Hengky merujuk pada Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 dan UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang menyatakan bahwa tanah bersertifikat lebih dari lima tahun tidak bisa digugat oleh siapa pun.
Upaya Penyelesaian Sengketa
Hengky menyebut bahwa pihak perusahaan telah melakukan empat kali pertemuan bersama pemerintah dan kelompok masyarakat yang mengaku pemilik ulayat, yang difasilitasi oleh Dinas Pertanahan Perumahan dan Kawasan Permukiman (DP2KP) Kabupaten Jayapura. Ia menyampaikan bahwa jika masyarakat memiliki hak, mereka dapat menggugat. Jika ada unsur pidana, mereka dapat membuat laporan ke polisi karena terus-menerus memalang puskesmas dan menuntut ratusan hingga miliaran rupiah.
Ia juga membuat laporan ke Polda Papua. Beberapa oknum, termasuk pejabat dan mantan di Dinas Pertanahan serta mantan Sekda, akan diperiksa karena dianggap menyebabkan gangguan pada pelayanan publik.
Kerugian Perusahaan
Sebelum membuat laporan ke Polda Papua, perusahaan telah mengambil langkah peringatan kepada kelompok masyarakat tersebut, tetapi tidak ada respons yang signifikan. Mereka meminta agar ganti rugi dibagi dua. Hengky menjelaskan bahwa tanah itu dibeli oleh perusahaan dan memiliki sertifikat, bukan kepemilikan pemilik ulayat. Perusahaan tetap harus membayar cicilan ke bank.
Pihaknya juga telah berupaya menemui dua penjabat Bupati Jayapura, namun hingga saat ini belum ada solusi yang ditemukan. Hengky berasumsi bahwa pemerintah daerah menghindar untuk menyelesaikan sengketa tanah ini, sehingga menciptakan kekisruhan di masyarakat. Akibatnya, pelayanan kesehatan di Khomba Waliyauw sempat terhenti sejak Desember 2024.
Hengky menyebut bahwa hingga saat ini pemerintah baru membayar sekitar 35 persen dari total nilai tanah. Ia tidak menyebut angka pastinya, tetapi jumlahnya mencapai miliaran rupiah karena awalnya tanah tersebut dibeli dengan harga Rp 1,4 miliar. Harga ini sesuai dengan nilai yang diukur oleh tim appraisal dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Tanggapan Pemerintah
Terpisah, Kepala Dinas Pertanahan Perumahan dan Kawasan Permukiman (DP2KP) Kabupaten Jayapura, Fredy Wally, mengatakan bahwa pemerintah telah membayar sekitar Rp 3 miliar, sehingga masih tersisa sekitar Rp 5 miliar. DP2KP melakukan proses pembayaran kepada pihak-pihak yang memiliki bukti kepemilikan, seperti sertifikat.
Fredy menyatakan bahwa Pak Yoku memiliki sertifikat, dan proses pembayaran sudah dilakukan. Ia juga mengakui bahwa masyarakat masih melakukan pemalangan meskipun beberapa kali telah melakukan pertemuan dengan Bupati dan Wakil Bupati Jayapura. Mereka menyampaikan harapan kepada Hengky Yoku untuk menjamin kelancaran pelayanan publik.
Saat ini, pelayanan kesehatan di Khomba Waliyauw sudah berjalan. Fredy menjelaskan bahwa menjadi dasar hanya kepada pemilik sertifikat untuk membayar masalah kondisi lapangan. Hengky Yoku harus bisa menjamin proses pelayanan publik berjalan. Pembayaran dilakukan sesuai dengan kekuatan APBD yang terbatas, dan pemerintah melakukan proses panjar sebesar Rp 3 miliar lebih sebagai bentuk niat baik.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!