
Sejarah Pemburuan Harta Karun dan Perubahan di Wilayah Karawang
Di tengah cuaca yang tidak menentu dan ombak yang cukup kencang, puluhan nelayan dari wilayah Karawang berbondong-bondong pergi ke laut untuk mencari harta karun. Mereka percaya bahwa kapal karam yang diperkirakan milik VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) menyimpan kekayaan besar seperti emas dan benda berharga lainnya. Kepercayaan ini memicu semangat yang sangat tinggi di kalangan nelayan.
Namun, di balik harapan tersebut, malapetaka terjadi. Banyak nyawa melayang dan beberapa nelayan mengalami luka permanen akibat aktivitas tersebut. Salah satu yang masih ingat akan peristiwa itu adalah Nanang Sai, seorang nelayan berusia 50 tahun dari Kampung Tangkolak, Desa Sukakerta. Ia mengingat masa pemburuan harta karun pada sekitar tahun 1980, meskipun ia sendiri tidak ikut dalam perburuan saat itu. Saat itu, ia masih berusia lima tahun, dan ayahnya turut serta dalam pencarian harta karun tersebut.
Setelah penemuan harta karun, warga mulai sadar bahwa dasar laut Karawang memiliki kekayaan lain, yaitu terumbu karang. Awalnya, mereka mengambil terumbu karang untuk keperluan konstruksi rumah. Namun, karena faktor ekonomi dan kurangnya larangan, mereka mulai menjual terumbu karang ke luar daerah. Nanang mengakui bahwa dirinya juga ikut ambil bagian dalam pengambilan terumbu karang tersebut.
Admu, seorang nelayan lainnya, tidak mengalami langsung pemburuan harta karun, tetapi ia mengaku pernah terlibat dalam pengambilan terumbu karang. Sementara Dame Saputra, seorang nelayan berusia 37 tahun, mendengar cerita tentang pemburuan harta karun dari ayahnya. Menurutnya, wilayah tersebut kaya akan terumbu karang, namun rusak akibat tindakan nelayan sendiri.
Pemburuan harta karun berlangsung sejak tahun 1980 hingga 1995. Setelah ada korban jiwa, aktivitas tersebut berhenti. Nelayan kemudian beralih ke pemburuan terumbu karang menggunakan alat sederhana seperti kompresor tambal ban. Alat ini tidak aman dan berbahaya bagi kesehatan. Bahkan, praktik ini digunakan juga untuk menangkap ikan dengan cara yang merusak ekosistem laut.
Akibatnya, hasil tangkapan ikan mulai menurun drastis pada tahun 2010-2020. Ini membuat warga sadar akan kerusakan yang telah dilakukan dan memulai upaya pemulihan ekosistem laut. Pemerintah juga memberlakukan undang-undang yang melarang pengambilan terumbu karang dan penggunaan alat berbahaya dalam menangkap ikan.
Kepala Bidang Kelautan Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Barat, Dyah Ayu Purwaningsih, mengatakan bahwa lokasi tersebut telah ditetapkan sebagai BMKT (Benda Muatan Kapal Tenggelam). Benda-benda dari kapal karam peninggalan VOC telah dibawa ke museum KPP. Lokasi ini kini menjadi kawasan dilindungi dan tidak boleh lagi ada aktivitas pemburuan harta karun.
Pejabat sementara Kepala Desa Sukakerta, Nurhasan, juga membenarkan kisah-kisah tersebut. Ia mengatakan bahwa masyarakat dulunya menjadi pelaku pengrusakan laut, tetapi kini berubah menjadi pelaku pelestarian. “Sekarang, laut dan mangrove lebih baik,” ujarnya.
Program OTAK JAWARA: Upaya Pemulihan Ekosistem Laut
Pada tahun 2022, Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) bekerja sama dengan peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk membantu pemulihan ekosistem terumbu karang di wilayah Karawang. Data dari Dr. Ir. Wazir Mawardi, M.Si, menunjukkan bahwa luasan terumbu karang di Tangkolak mencapai 4.020 hektare, tetapi kondisinya sangat rusak.
Program OTAK JAWARA (Orang Tua Asuh Karang Laut Utara Jakarta dan Jawa Barat) dibentuk untuk membantu proses pemulihan. Program ini melibatkan nelayan setempat, khususnya dari Kelompok Pandu Alam Sendulang (PAS), yang dipimpin oleh Dame Saputra. Mereka memiliki tiga misi utama, yaitu mengembalikan habitat terumbu karang melalui transplantasi, meningkatkan ekonomi melalui hasil tangkapan ikan, dan membentuk ekosistem pariwisata sebagai alternatif mata pencaharian.
Sejak 2022, PHE ONWJ telah menenggelamkan 420 modul Paranje di wilayah Karawang. Struktur ini menjadi media buatan untuk menempelkan fragmen karang kecil. Selain itu, program ini juga memberikan edukasi, sertifikasi selam, dan alat kepada nelayan agar dapat menjalankan program dengan lebih aman dan efektif.
Hasilnya, pertumbuhan terumbu karang mulai terlihat. Ribuan fragmen karang kecil tumbuh dan menjadi tempat tinggal ikan-ikan. Ekosistem yang pulih ini kini diminati wisatawan untuk snorkeling maupun diving. Hasil tangkapan ikan juga mulai meningkat, memberikan harapan baru bagi para nelayan.
General Manager PHE ONWJ, Muzwir Wiratama, menjelaskan bahwa program OTAK JAWARA merupakan komitmen jangka panjang untuk pelestarian lingkungan laut. Program ini melibatkan akademisi, praktisi, dan warga lokal untuk menciptakan perubahan positif.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!