Ahli Kehutanan: Isu Negatif LSM Merusak Ekspor Kayu ke AS

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Featured Image

Tanggapan terhadap Laporan Investigatif Mengenai Keterlibatan Industri Kendaraan Rekreasi dalam Deforestasi

Petrus Gunarso, seorang pengamat kehutanan, memberikan tanggapan kritis terhadap laporan investigatif yang menyebutkan keterlibatan industri kendaraan rekreasi (RV) Amerika Serikat dalam deforestasi hutan tropis Kalimantan. Menurutnya, pemberitaan tersebut cenderung berlebihan dan tidak sepenuhnya mencerminkan realitas industri kehutanan di Indonesia.

Istilah “deforestasi” sering digunakan secara longgar oleh lembaga swadaya masyarakat internasional untuk menggambarkan perubahan tutupan lahan, bahkan ketika terjadi alih fungsi dari hutan alam menjadi hutan tanaman industri (HTI). Petrus menjelaskan bahwa deforestasi merujuk pada perubahan tutupan lahan dari hutan ke non-hutan. Jika dari hutan alam menjadi monokultur, beberapa organisasi seperti WWF masih menyebutnya sebagai deforestasi. Namun, jika lahan tersebut ditanami kembali dengan eukaliptus atau akasia, apakah tetap disebut deforestasi?

Di Indonesia, pohon-pohon ini bisa dipanen dalam waktu enam tahun, sedangkan di negara seperti Norwegia atau Amerika, diperlukan waktu 40 tahun sebelum bisa ditebang. Hal ini menunjukkan bahwa istilah "deforestasi" bisa digunakan secara tidak tepat dalam konteks tertentu.

Petrus juga menyoroti temuan Earthsight dan Auriga Nusantara yang menyebutkan bahwa perusahaan RV AS menggunakan kayu lauan dari Kalimantan yang terkait deforestasi. Menurutnya, kayu tersebut kemungkinan besar berasal dari Izin Pemanfaatan Kayu (IPK), yaitu hasil tebangan saat pembukaan lahan untuk HTI. Ia menjelaskan bahwa itu sebenarnya sisa-sisa dari HTI, sampah yang laku dijual lalu diolah. Meskipun legal karena ada IPK, pemberitaan tersebut digambarkan sangat bombastis, seolah-olah hutan alam ditebang habis-habisan untuk pasok Amerika. Padahal, kenyataannya tidak begitu.

Selain itu, Petrus mengingatkan bahwa sektor kehutanan Indonesia saat ini tengah menghadapi kemunduran serius. Dari sekitar 550 HPH (Hak Pengusahaan Hutan) di era 1990-an, kini tinggal 200-an. Produksi kayu hutan alam pun anjlok menjadi hanya sekitar 1,6 juta meter kubik per tahun — angka yang bahkan tidak cukup untuk kebutuhan kayu Jakarta saja.

Menurutnya, jika tujuannya adalah membunuh industri kayu, mungkin berhasil. Tapi tanpa laporan itu pun, industri kayu kita sudah megap-megap. Dengan izin yang berlapis, konflik lahan yang tak kunjung selesai, dan profitabilitas rendah, sektor ini memang semakin tidak menarik investasi.

Lulusan kehutanan ini juga menyinggung klaim NGO tentang keanekaragaman hayati (mega-biodiversity) Indonesia yang seharusnya tercermin dalam komoditas kayu. Indonesia memiliki mega-biodiversity, tetapi yang dijual tetap jati, meranti, atau rimba campuran. Jika konsisten dengan prinsip tersebut, mestinya semua jenis kayu dipasarkan. Tapi pasar tidak menyerap. Oleh karena itu, tudingan NGO soal DNA ramin dalam kertas pun dulu pernah bikin heboh, padahal praktiknya, ramin memang dilarang ditebang.

Penilaian Guru Besar IPB University Mengenai Aturan di Sektor Kehutanan

Sementara itu, Prof. Sudarsono Sudomo, Guru Besar IPB University, menilai berbagai aturan di sektor kehutanan kerap menambah beban biaya tanpa memberi manfaat nyata bagi pelaku usaha. Menurutnya, setiap aturan hampir pasti menimbulkan biaya. Jika manfaatnya lebih besar, tentu tidak masalah. Tapi umumnya aturan justru lebih banyak biayanya daripada keuntungan yang didapat.

Dia mencontohkan penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang menurutnya tidak dirasakan manfaatnya oleh petani. "Kalau ditanya sertifikat SVLK ke petani, rata-rata mereka tidak tahu di mana sertifikatnya. Tidak ada manfaat nyata bagi petani," ujarnya.