
Penemuan Kasus TBC di Kabupaten Magetan Masih Rendah
Kabupaten Magetan, Jawa Timur, masih mencatatkan angka penemuan kasus Tuberkulosis (TBC) yang relatif rendah meskipun capaian pelayanan terhadap masyarakat dengan gejala TBC sudah mencapai 99 persen dari target yang ditetapkan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti stigma negatif terhadap penyakit dan keterbatasan peralatan medis.
Epidemiolog Dinas Kesehatan Kabupaten Magetan, Agus Yudi Purnomo, menyampaikan bahwa hingga 31 Agustus 2025, pelayanan terhadap terduga TBC telah mencapai 99 persen dari target sebanyak 8.659 kasus. Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa hampir seluruh masyarakat dengan gejala TBC telah mendapatkan layanan kesehatan yang memadai.
“Alhamdulillah, capaian pelayanan terhadap terduga TBC cukup baik. Hanya saja, masalah utama yang kita hadapi adalah stigma,” ujar Agus saat ditemui di ruang kerjanya.
Agus menjelaskan bahwa gejala umum TBC meliputi batuk lebih dari dua minggu, penurunan berat badan, nyeri dada, dan berkeringat pada malam hari tanpa alasan jelas. Meski gejala tersebut cukup spesifik, banyak masyarakat masih enggan untuk memeriksakan diri.
“Banyak orang merasa malu jika didiagnosis TBC. Akibatnya, mereka memilih untuk tidak mengakui kondisi mereka atau mencari pengobatan di kabupaten lain,” tambahnya.
Data dari Dinas Kesehatan Magetan menunjukkan bahwa hingga Juli 2025, lebih dari 150 warga Magetan terdeteksi sebagai kasus TBC di kabupaten lain, terutama di wilayah perbatasan dengan Madiun, Ngawi, dan Ponorogo. Ini menunjukkan bahwa banyak pasien TBC yang tidak terdeteksi di Magetan sendiri.
Meskipun pelayanan terhadap terduga TBC tinggi, Agus mengakui bahwa angka penemuan kasus TBC di Magetan masih rendah. Dari target 1.659 kasus TBC sepanjang 2025, hanya 35 persen yang tercapai hingga akhir Agustus 2025.
“Seharusnya penemuan kasus sudah mencapai 60 persen, tapi kita baru mencapai 35 persen. Ini menjadi tantangan besar,” ujarnya.
Salah satu kendala dalam penemuan kasus TBC adalah keterbatasan alat diagnosis, terutama rontgen. Saat ini, Magetan memiliki enam alat tes cepat molekuler (TCM) yang tersebar di puskesmas dan rumah sakit, namun belum didukung dengan fasilitas rontgen yang memadai.
“Jika hasil TCM negatif, sebaiknya dilanjutkan dengan pemeriksaan rontgen. Sayangnya, kita masih kekurangan alat ini. Hal ini menyebabkan diagnosis kadang terlambat,” papar Agus.
Untuk mengatasi masalah stigma dan keterlambatan diagnosis, Pemerintah Kabupaten Magetan meluncurkan program Desa Siaga TBC pada 1 September 2025. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang TBC dan mendorong pengobatan yang tuntas.
Semua camat dan kepala desa diminta untuk aktif membentuk desa siaga yang berperan mengedukasi, mendampingi, dan mendorong warganya yang bergejala TBC agar segera berobat.
“Desa Siaga TBC mirip dengan sistem gotong royong saat pandemi. Kami ingin masyarakat tidak lagi menganggap TBC sebagai aib. Jika ada yang sakit, masyarakat akan saling membantu dan mendukung pengobatannya sampai tuntas,” ujar Agus.
Selain itu, Agus menekankan bahwa tantangan terbesar dalam pengendalian TBC adalah kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan yang berlangsung minimal enam bulan. Efek samping obat, rasa bosan, dan menurunnya kondisi fisik sering membuat pasien berhenti di tengah jalan.
“Jika pengobatan tidak tuntas, bisa menimbulkan TBC resisten obat, yang jauh lebih sulit dan lama pengobatannya. Namun, jika ditemukan sejak dini dan diobati tuntas, peluang sembuh sangat tinggi,” tegasnya.
Dengan adanya program Desa Siaga TBC, Agus berharap stigma dapat dikurangi, kepatuhan pasien meningkat, dan kasus baru dapat ditekan. Perubahan sudut pandang terhadap penyakit TBC dari penyakit keturunan serta pemahaman bahwa TBC bisa diobati diharapkan dapat dilakukan melalui program ini.
“Kita ingin masyarakat sadar, TBC itu penyakit menular, bukan penyakit keturunan. Kalau ditemukan cepat dan diobati tuntas, insyaallah sembuh,” pungkasnya.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!