
Koalisi Masyarakat Sipil Minta DPR Tidak Terburu-buru dalam Pembahasan RUU Perampasan Aset
Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari berbagai lembaga swadaya masyarakat dan pusat studi hukum menyerukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar tidak tergesa-gesa dalam menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah, menekankan bahwa DPR harus mempertimbangkan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat sipil dalam proses pembahasan tersebut.
“DPR tidak boleh melakukan pembahasan RUU Perampasan Aset secara terburu-buru tanpa melibatkan seluruh komponen masyarakat. Prosesnya juga tidak boleh dilakukan secara sembarangan,” ujar Wana dalam pernyataan tertulis.
Ia menegaskan pentingnya transparansi dalam pembahasan RUU ini. Menurutnya, DPR harus membuka informasi sebanyak mungkin mengenai perkembangan RUU Perampasan Aset. Hal ini sangat penting mengingat RUU ini telah ditetapkan sebagai Prolegnas Prioritas 2025, dengan sisa waktu kurang dari empat bulan sebelum tahun 2026.
Jika RUU ini tidak selesai dalam tenggat waktu yang ditentukan, ada potensi besar RUU ini kembali mengawang dan tidak terbahas. Dengan demikian, naskah akademik dan draf RUU yang telah disusun sebelumnya tidak perlu dirombak sepenuhnya atau dimulai dari awal.
Wana juga menyampaikan kekhawatiran bahwa RUU Perampasan Aset bisa justru disusun hanya untuk kepentingan elite, sehingga menghilangkan esensi dari upaya perampasan aset itu sendiri. Oleh karena itu, koalisi menyarankan agar pembahasan RUU ini dilakukan bersamaan dengan Rancangan Kebijakan Umum Hukum (RKUHAP). Tujuannya adalah untuk menghindari tumpang tindih aturan yang dapat menyebabkan ketidakpastian hukum.
Beberapa hal antara RUU Perampasan Aset dan RKUHAP saling berkaitan, seperti kewenangan penegak hukum, status aset hasil tindak pidana, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, koalisi menilai penting untuk memastikan adanya keselarasan antara dua regulasi tersebut.
Selain itu, Koalisi Masyarakat Sipil menyampaikan lima isu penting yang perlu diatur dalam RUU Perampasan Aset:
-
Kualifikasi APH dan lembaga pengelola aset
Kewenangan Kejaksaan RI sebagai lembaga pengelola aset masih menjadi perdebatan. Kejaksaan memiliki kewenangan yang terlalu luas dalam pengelolaan aset, termasuk penyimpanan, pengamanan, pemanfaatan, dan pengembalian. Perlu adanya jaminan pengawasan pengelolaan aset oleh Kejaksaan RI agar nilai aset tidak berubah secara drastis. -
Aturan mengenai unexplained wealth order
Unexplained wealth atau harta yang tidak dapat dijelaskan sumbernya merupakan konsep dasar dari illicit enrichment atau pengayaan ilegal. Jika seorang pejabat publik memiliki harta yang melebihi pendapatannya dan tidak dapat menjelaskan sumbernya, maka patut diduga harta tersebut berasal dari tindak pidana, seperti suap atau gratifikasi. RUU Perampasan Aset perlu mengatur hal ini agar mempermudah pembuktian dugaan korupsi. -
Threshold jumlah aset yang dapat dirampas
Berdasarkan Pasal 6 RUU Perampasan Aset per April 2023, aset yang dapat dirampas bernilai minimal Rp100.000.000 dan diancam dengan hukuman 4 tahun atau lebih. Batas ini perlu dibahas kembali untuk menyesuaikan dengan kondisi inflasi dan nilai ekonomis. -
Mekanisme upaya paksa dan pengawasan terhadap upaya paksa
RUU Perampasan Aset berkaitan erat dengan upaya paksa. Meskipun RUU ini tidak mengandalkan pemidanaan terhadap pelaku, penyidik dapat melakukan pemblokiran maupun penyitaan aset yang diduga hasil tindak pidana. Mekanisme upaya paksa ini harus memperhatikan prinsip kehati-hatian agar tidak melanggar hak asasi manusia. Pengawasan juga perlu diperkuat, misalnya melalui sistem hakim komisaris atau hakim pemeriksa pendahuluan. -
Sistem pembuktian dalam RUU Perampasan Aset
Model pembuktian dalam non-conviction based asset forfeiture diadopsi dari hukum acara perdata. Oleh karena itu, RUU Perampasan Aset perlu mengadopsi sistem pembuktian terbalik. Beban bukti bertumpu pada harta tersangka atau terdakwa, sehingga perlu mekanisme yang memastikan bahwa harta tersebut benar-benar kepunyaan sah milik tersangka atau terdakwa.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!