
Kehidupan Rumah Tangga yang Berlangsung Selama 43 Tahun Tanpa Dokumen Resmi
Di Desa Muneng, Kecamatan Balong, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, ada pasangan suami istri yang telah menjalani kehidupan rumah tangga selama 43 tahun tanpa memiliki dokumen nikah resmi. Mereka adalah Sardi (75) dan Sri Wahyuni (74), yang kini mengikuti proses isbat nikah di Pendopo Agung Kabupaten Ponorogo. Suara Sardi terdengar bergetar saat ia menyampaikan ijab kabul di depan penghulu, sementara Sri Wahyuni berdiri di sisinya.
Perkawinan mereka berlangsung pada tahun 1982 dengan cara yang biasa dilakukan masyarakat sebelumnya, yaitu pernikahan secara agama. Meskipun telah menikah selama hampir empat dekade, Sardi mengakui bahwa selama ini tidak ada halangan yang mengganggu keharmonisan rumah tangganya. Namun, karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan, mereka tidak pernah mencatatkan pernikahan secara hukum negara.
Sardi mengatakan bahwa surat nikah resmi yang seharusnya menjadi bukti sah pernikahan tersebut hilang dalam kebakaran yang terjadi pada tahun 1985. “Saat itu, rumah kami terbakar, dan banyak dokumen penting seperti surat nikah ikut terbakar,” katanya.
Karena biaya yang mahal, Sardi dan Sri Wahyuni memilih untuk tidak melanjutkan proses pencatatan nikah secara legal. Meski demikian, mereka tetap menjalani kehidupan bersama dengan tenang dan harmonis. Pasangan ini dikaruniai satu anak laki-laki. Setelah beberapa waktu, pihak desa menawarkan program isbat nikah yang bisa membuat pernikahan mereka sah secara negara.
“Alhamdulillah, akhirnya kami bisa melaksanakan ijab kabul di program sidang isbat. Sekarang pernikahan kami diakui oleh negara,” ujarnya dengan senyum bahagia.
Setelah proses isbat nikah selesai, Sardi mengatakan bahwa ia akan kembali ke ladang bersama istrinya. Menurutnya, memiliki surat nikah merupakan kebahagiaan yang tak ternilai. “Ini kembali ke rumah terus langsung ke kebun,” katanya.
Sebanyak 28 pasangan suami istri mengikuti kegiatan isbat nikah terpadu yang diselenggarakan oleh pemerintah Kabupaten Ponorogo di Pendopo Agung. Acara ini bertujuan untuk menyisir pernikahan yang belum sesuai dengan aturan negara maupun agama. Bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko, atau akrab disapa Kang Giri, menjelaskan bahwa tujuan dari acara ini adalah untuk memastikan semua pernikahan di wilayahnya diakui secara sah.
“Bisa saja mereka dulu menikah siri atau menikah resmi tapi tidak tercatat di pencatatan sipil. Karena belum diakui negara, bisa menimbulkan masalah,” jelasnya.
Kepala Kantor Kemenag Ponorogo, Nurul Huda, menambahkan bahwa nikah yang sah adalah nikah yang dicatat oleh pegawai pencatat nikah. Ia juga menjelaskan bahwa rata-rata pasangan yang ikut dalam acara isbat nikah di Pendopo Agung berusia di atas 40 tahun. Mereka sebelumnya menikah siri karena keterbatasan biaya maupun alasan lain.
“Ternyata di belakang menimbulkan banyak persoalan. Penyuluh agama kami terus melakukan pendekatan agar mereka mau dicatatkan sehingga memiliki dokumen kependudukan lengkap seperti KTP, KK, dan akta kelahiran untuk anak-anaknya,” tambahnya.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!