
Evaluasi Bantuan untuk Pesantren dan Masjid di Jawa Barat
Pemerintah Provinsi Jawa Barat terus melakukan evaluasi terhadap penerima bantuan hibah, termasuk untuk pesantren dan masjid. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk memastikan distribusi bantuan lebih merata dan proporsional. Gubernur Dedi Mulyadi sebelumnya menyatakan akan melakukan audit investigasi terhadap lembaga-lembaga yang menerima dana bantuan dari Pemprov Jabar.
Audit tersebut muncul karena adanya kekhawatiran bahwa penyaluran bantuan selama ini tidak adil. Bahkan, ada satu lembaga yang menerima bantuan hingga mencapai Rp 50 miliar, sementara beberapa daerah seperti Kabupaten Garut dinilai mendapatkan alokasi terbesar, hingga ratusan miliar rupiah.
Kepala Bappeda Jabar, Dedi Mulyadi, mengakui bahwa fenomena ini pernah terjadi. Namun, pada masa pemerintahan saat ini, pihaknya telah berupaya membenahi tata kelola dan target penerima bantuan lembaga keagamaan, pesantren, maupun organisasi lainnya. Audit investigasi yang dimaksud telah dilakukan secara internal oleh inspektorat melalui review penerima bantuan.
Pada tahun 2024 lalu, sebanyak 274 calon penerima hibah tidak dicairkan, sedangkan dua penerima yang sudah cair diminta untuk mengembalikan dana hibah tersebut karena adanya kejanggalan dalam verifikasi dan validasi. Tahun 2025 menjadi dasar evaluasi lanjutan, dengan penggeseran alokasi bantuan untuk pembangunan infrastruktur dan program prioritas lainnya.
Dalam anggaran APBD 2025, terdapat 311 unit pesantren yang tercantum dalam penerima bantuan. Namun, distribusi pesantren tersebut tidak merata, hanya 21 kota/kabupaten yang mengajukan, sementara enam lainnya tidak mendapatkan hibah. Salah satu wilayah yang mendapat alokasi terbesar adalah Garut, dengan 140 pesantren. Sementara itu, Karawang hanya memiliki satu pesantren yang mengajukan bantuan.
Alokasi bantuan pesantren sebesar Rp 135 miliar, dengan sebagian besar (57,9% atau Rp 78 miliar) dialokasikan untuk wilayah Garut. Kepala Bappeda Jabar menyatakan bahwa alokasi tersebut dipertimbangkan untuk beasiswa santri. Namun, usulan yang direkomendasikan oleh Kanwil Kemenag hanya sebesar Rp 10 miliar, sehingga dana tersebut digeser untuk pendidikan dan kesehatan.
Selain pesantren, bantuan masjid juga dievaluasi. Dalam anggaran 2025, ada 60 masjid yang menerima dana senilai Rp 9 miliar. Sebanyak 33 masjid ada di Garut, dengan alokasi sebesar Rp 4,1 miliar. Hal ini menunjukkan ketidakmerataan dalam distribusi bantuan masjid, dengan hanya 10 kota/kabupaten yang menerima, sementara 17 lainnya tidak mendapatkan bantuan.
Ke depan, bantuan hibah untuk pesantren dan masjid akan distandarkan. Untuk ormas atau organisasi keagamaan level provinsi, kewenangan berada di tangan provinsi. Sementara untuk level kecamatan, kewenangan berada di tangan pemerintah kota/kabupaten.
Selain itu, bantuan keuangan kabupaten/kota juga diefisienkan. Dari total anggaran Rp 2,5 triliun, hanya Rp 1,2 triliun yang diberikan setelah efisiensi sebesar Rp 1,3 triliun. Efisiensi terbesar dialokasikan untuk sarana prasarana TIK pendidikan di sekolah SMP senilai Rp 725 miliar, rehabilitasi jaringan irigasi sebesar Rp 166 miliar, dan pembangunan tembok penahan tanah senilai Rp 75 miliar.
Inspektorat Jabar telah melakukan review terhadap 276 penerima bantuan hibah tahun 2024. Hasilnya, sejumlah penerima diminta untuk tidak mencairkan dana hibah atau mengembalikannya. Tahun 2025, review kembali dilakukan terhadap penerima bantuan hibah, dengan delapan penerima yang diminta untuk di-review oleh Biro Kesra.
Berdasarkan rekomendasi, syarat administrasi harus dipenuhi, ketidaksesuaian nominal dengan efisiensi harus diperbaiki, dan proposal hibah harus dilengkapi.
Selain itu, audit investigatif juga dilakukan oleh BPK dan BPKP. KPK juga turut melakukan pemeriksaan terhadap beberapa yayasan penerima hibah, meskipun nama yayasan yang diperiksa tidak disebutkan.
Seorang anggota Komisi V DPRD Jabar, Maulana Yusuf Erwinsyah, menyatakan bahwa audit tersebut hanya digunakan sebagai alat untuk menakuti para kiai pesantren agar tidak mengkritik kebijakan penghentian dana hibah. Ia mempertanyakan apakah audit tersebut akan menghasilkan apa yang diinginkan.
Maulana juga menyatakan bahwa kebijakan penataan kembali penerima manfaat hibah/pesantren adalah kebohongan, karena hingga anggaran perubahan 2025 pun, pesantren masih tercoret dalam daftar penerima bantuan pemerintah. Meski diganti dengan beasiswa pesantren, alokasi tersebut tidak sebanding dengan rencana awal.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!