Sidang Korupsi Dana Hibah GMIM, Ini Pernyataan Kuasa Hukum Jefry Korengkeng dan Steve Kepel

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Sidang Korupsi Dana Hibah GMIM, Ini Pernyataan Kuasa Hukum Jefry Korengkeng dan Steve Kepel

Sidang Kasus Korupsi Dana Hibah: Keterangannya Tidak Konsisten

Dalam sidang kasus dugaan korupsi dana hibah dari Pemprov Sulut ke GMIM, enam saksi dihadirkan oleh JPU. Sidang berlangsung di ruang sidang Prof Dr Muhammad Hatta Ali SH MH di Pengadilan Negeri Manado, Kelurahan Kima Atas, Kecamatan Mapanget, kota Manado, Sulawesi Utara, pada Rabu (10/9/2025).

Keenam saksi tersebut adalah pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Pemprov Sulut dan para pensiunan. Salah satu kuasa hukum terdakwa, Michael Jacobus, menyampaikan bahwa kesaksian saksi Melky Matindas tidak konsisten. Menurutnya, saksi menyebut bahwa kliennya memerintahkan masuknya nama dan nominal pada Juli 2019.

Namun, menurut Jacobus, Jefry Korengkeng baru dilantik pada Agustus 2019. Hal ini menjadi pertanyaan besar mengenai validitas pernyataan saksi tersebut. Selain itu, dalam BAP sebelumnya, saksi menyebut bahwa proposal GMIM sudah rinci dan memenuhi syarat. Namun dalam kesaksian berikutnya, saksi justru mengatakan bahwa GMIM tidak memiliki proposal sama sekali.

Jacobus menegaskan bahwa saksi menyebut bahwa GMIM tidak mengajukan proposal pada 2019. Ia kemudian meminta saksi menunjukkan daftar organisasi yang menerima dana hibah. "Saya minta tunjukkan, berarti cuma satu alat bukti, apalagi saksi yang tidak konsisten dengan keterangannya," ujarnya.

Selanjutnya, Jacobus mengungkapkan bahwa saksi menyebut belum ada pelaporan pertanggungjawaban tahap 1, tapi tahap 2 sudah cair. Demikian pula dari tahap 2 ke tahap 3. "Dan terbukti di persidangan bahwa di list mereka mencentang bahwa LPJ sudah benar," tambahnya. Ia meminta majelis hakim mempertimbangkan hal ini dalam putusan.

Febri Tri Hariyada, kuasa hukum Steve Kepel, menyatakan bahwa kliennya tidak memiliki peran dalam pencairan dana hibah. "Baik lisan maupun tulisan tidak ada perintah," katanya.

Kesaksian Saksi Dinilai Tidak Konsisten

Keterangan saksi Melky Matindas dinilai tidak konsisten oleh majelis hakim dan tim pengacara. Ketidaksesuaian dalam kesaksian Melky ini menjadi sorotan utama dalam persidangan. Ia sering mendapatkan teguran dari Hakim Ketua Achmad Peten Sili.

Puncaknya terjadi saat hakim dengan nada tegas menyebut bahwa Melky seharusnya menjadi terdakwa. "Saya sudah peringatkan saksi agar ngomong apa adanya, jangan dusta dusta, nanti susah sendiri," ujar Hakim Achmad.

Dalam kesaksian, Melky mengungkapkan bahwa pencairan dana hibah sebesar Rp 18 miliar untuk GMIM tidak sesuai prosedur. "Pada 2019 tidak ada proposal yang masuk untuk dana hibah dari GMIM tapi tetap dianggarkan pada 2020," ujarnya. Meskipun demikian, ia mengaku pencairan tetap dilakukan atas "arahan pimpinan."

Kesaksian Melky diperkuat oleh saksi lain, Jimmy Pantouw, yang juga membenarkan tidak adanya pengajuan proposal dari GMIM pada tahun 2019. Sementara itu, saksi Ferni Karamoy mengaku mendapat petunjuk lisan dari terdakwa Jefry Korengkeng untuk mencairkan dana tersebut.

Frangky Weku, pengacara terdakwa AGK, menyoroti inkonsistensi kesaksian Melky. Ia bahkan mengusulkan agar Melky ditetapkan sebagai terdakwa. "Menurut Frangky, nyata dalam sidang bahwa Melky-lah yang membuat dokumen terkait pencairan dana hibah tersebut. Hingga saya mengusulkan agar saksi Melky dijadikan terdakwa," katanya.

Latar Belakang Kasus

Kasus ini bermula saat Pemprov Sulut melaksanakan pengalokasian, pendistribusian dan realisasi dana untuk belanja hibah pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Proses pengalokasian dana tersebut terjadi pada tahun 2020, 2021, 2022, dan 2023.

Total dana yang dikucurkan mencapai Rp. 21,5 Miliar. Namun dalam pelaksanaannya diduga telah terjadi praktek melawan hukum dan atau menyalahgunakan kewenangan hingga mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 8,9 Miliar.

Modus yang dilakukan yaitu melakukan mark-up dalam penggunaan dana. Penggunaan dana tidak sesuai peruntukkan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan alias pertanggungjawabannya fiktif.