
Kritik terhadap Pemberian Remisi kepada Koruptor
Pakar hukum dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Prof Hibnu Nugroho, menyampaikan kritik terhadap pemberian remisi kepada narapidana kasus korupsi. Ia menilai bahwa tindakan ini tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi di Indonesia. Remisi diberikan pada Hari Ulang Tahun Ke-80 Kemerdekaan RI, yang dinilai kurang tepat dalam konteks kebijakan anti-korupsi.
Secara hukum, remisi adalah hak bagi narapidana yang diatur dalam Undang-Undang Pemasyarakatan. Namun, menurut Hibnu, jika dikaitkan dengan upaya pemberantasan korupsi, pemberian remisi kepada para koruptor justru melemahkan efek jera. Hal ini menjadi perhatian khusus terhadap kasus mantan ketua DPR RI, Setya Novanto, yang merupakan terpidana kasus korupsi KTP-El.
Meskipun tidak mendapatkan remisi dalam rangka HUT Ke-80 Republik Indonesia, pembebasan bersyarat Setya Novanto pada 16 Agustus 2025 tetap menjadi sorotan. Hal ini berkaitan dengan remisi yang diperolehnya sebelumnya serta pengajuan Peninjauan Kembali (PK) yang disetujui Mahkamah Agung.
Perubahan Aturan Terkait Remisi
Dalam masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Kemenkumham mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999. PP ini mengatur pengetatan remisi bagi narapidana kasus korupsi, narkotika, dan terorisme.
Namun, pada masa pemerintahan Presiden Jokowi, PP 99/2012 dicabut oleh Mahkamah Agung (MA). Sehingga, pemberian remisi kepada koruptor, bandar narkoba, dan teroris kembali berdasarkan PP 32/1999. Dengan demikian, semua narapidana termasuk koruptor tetap bisa mendapat remisi, yang dinilai melemahkan efek jera dalam pemberantasan korupsi.
Hibnu menyayangkan fluktuasi dalam politik hukum yang membuat publik bingung, terutama terkait pemberantasan korupsi. Ia menegaskan pentingnya konsistensi aturan agar pemberantasan korupsi tidak kehilangan momentum dan efek jera.
Pembebasan Bersyarat Setya Novanto
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Provinsi Jawa Barat, Kusnali, memastikan bahwa pembebasan bersyarat Setya Novanto sesuai dengan aturan. Ia menjelaskan bahwa Setnov telah menjalani dua pertiga masa pidananya dari total pidana penjara 12,5 tahun. Pembebasan bersyarat dilakukan pada 16 Agustus 2025.
Setya Novanto masih harus wajib lapor kepada Lapas Sukamiskin Bandung. Ia menjalani hukuman sejak 2017 dan senantiasa mendapatkan pengurangan remisi. Meski demikian, dia tidak mendapatkan remisi pada tanggal 17 Agustus.
Vonis dan Perubahan Hukuman
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada 24 April 2018 menjatuhkan vonis 15 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan, ditambah kewajiban pembayaran uang pengganti 7,3 juta dolar Amerika Serikat kepada Setya Novanto. Kasus ini terkait korupsi dalam proyek pengadaan KTP-El yang merugikan negara lebih dari Rp 2,3 triliun.
Kasus Setya Novanto kembali mencuat setelah Majelis Agung pada Juni 2025 mengabulkan permohonan PK. Dengan ini, vonis penjara dikurangi dari 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan, serta pencabutan hak politik diubah dari 5 tahun menjadi 2 tahun 6 bulan setelah bebas.
Berdasarkan perhitungan, Setya Novanto yang mulai ditahan sejak November 2017, diperkirakan bebas sekitar tahun 2030. Namun, dengan remisi Idul Fitri yang diterimanya sejak 2023 hingga 2025, tanggal pembebasannya bisa diperpendek lagi.
Setya Novanto resmi bebas bersyarat dari Lapas Sukamiskin pada 16 Agustus 2025 karena telah menjalani dua pertiga masa hukumannya. Meski telah membayar denda dan uang pengganti, ia masih diwajibkan melapor berkala hingga bebas murni sekitar tahun 2029.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!