
Penyebab Penggilingan Padi Kecil Tidak Beroperasi
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengungkapkan alasan di balik penutupan sejumlah penggilingan padi kecil yang terjadi belakangan ini. Ia menekankan bahwa fenomena ini bukanlah hal baru, melainkan akibat ketidakseimbangan antara produksi padi nasional dan kapasitas penggilingan yang tersedia.
Menurut Amran, saat ini ada tiga klaster penggilingan padi di Indonesia. Penggilingan skala kecil mencapai 161 usaha, sedangkan penggilingan menengah dan besar masing-masing berjumlah 7.300 dan 1.065 usaha. Total kapasitas produksi dari penggilingan tersebut mencapai 116 juta ton per tahun. Namun, produksi padi nasional hanya sekitar 65 juta ton per tahun, jauh lebih rendah dibandingkan kapasitas giling yang ada.
"Artinya, kapasitas giling jauh melampaui jumlah produksi sehingga banyak mesin yang tidak digunakan," ujarnya dalam keterangan resminya.
Selain itu, faktor musiman juga memengaruhi operasional penggilingan. Produksi padi di Indonesia dominan terjadi pada semester pertama, yaitu Januari hingga Juni, yang menyumbang sekitar 70 persen dari total produksi nasional. Akibatnya, sebagian besar gabah sudah digiling selama periode tersebut, sementara pasokan bahan baku berkurang pada semester kedua.
Amran juga menjelaskan bahwa ketimpangan harga antara penggilingan besar dan kecil turut memperparah situasi. Pemain besar mampu membeli gabah dengan harga lebih tinggi, sehingga menggeser ruang gerak penggilingan kecil. Contohnya, jika penggilingan kecil membeli gabah dengan harga Rp6.500, penggilingan besar bisa membeli dengan harga Rp6.700. Hal ini membuat penggilingan kecil kesulitan untuk bersaing.
Namun, Amran melihat adanya peluang positif dari dinamika pasar belakangan ini. Ada penurunan penjualan beras premium di supermarket modern, yang diikuti dengan meningkatnya permintaan di pasar tradisional. Situasi ini memberi kesempatan bagi penggilingan kecil untuk kembali mendapatkan pasokan.
Ia menilai penting untuk memperbaiki pemahaman publik. Dengan stok beras yang hanya sekitar 23 juta ton tersisa di sisa tahun berjalan dan kapasitas giling terpasang hingga 165 juta ton, wajar jika tidak semua penggilingan bisa beroperasi penuh. Kondisi ini membuat penggilingan kecil sering kali kalah bersaing dalam harga.
“Kalau berasnya saat ini tinggal 23 juta, gak banyak, kapasitas pabrik seluruhnya itu 165 juta, tentu kan tidak kebagian yang kecil. Kenapa yang kecil? Karena kalah bersaing dalam harga. Nah, ini mudah-mudahan akan terbentuk struktur pasar baru,” ujarnya.
Selain faktor kapasitas dan distribusi, Amran juga menyoroti praktik kecurangan yang ikut memengaruhi harga beras. Ia mengungkapkan bahwa ada pihak-pihak yang menaikkan harga secara tidak wajar, jauh di atas harga seharusnya. “Nah, setelah itu diperparah lagi dengan harga dan kualitas yang tidak benar. Itu mengangkat harga. Dan itu sudah berapa tersangka ditetapkan,” ungkapnya.
Berdasarkan pemantauan terbaru, Amran menyebut harga beras sudah mulai mengalami penurunan di sejumlah daerah, meski di beberapa wilayah lain masih bertahan. Ia membantah anggapan bahwa tingginya harga beras disebabkan oleh penyerapan besar oleh Bulog. Ia menekankan bahwa Bulog hanya menyerap sekitar 8% dari total beras yang beredar, sedangkan sisanya dikuasai oleh swasta.
“Ada pengamat tuh mengatakan kenapa harga tinggi, karena Bulog serap banyak, benar nggak? Sekarang adalah yang diserap itu Bulog hanya 8%. 2,8 juta ton dibagi dengan 34 juta ton itu sama dengan 8%. Swasta serap 92%.” pungkasnya.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!