
Upaya Pemerintah dalam Mengatasi Masalah Sampah Plastik
Pemerintah Indonesia tengah mempercepat langkah-langkah untuk mengurangi dampak sampah plastik terhadap lingkungan. Dalam upaya ini, berbagai kebijakan dan strategi telah diambil guna mencapai target pengelolaan sampah yang komprehensif pada tahun 2029. Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Hanif Faisol Nurofiq menyatakan bahwa pihaknya akan melakukan langkah-langkah konkret, terencana, dan terukur untuk menghentikan polusi plastik.
Dalam perundingan INC 5.2, Indonesia menekankan beberapa prioritas utama, seperti penghapusan plastik bermasalah dan bahan kimia berbahaya, penerapan desain produk berkelanjutan, serta mendorong ekonomi sirkular. Selain itu, pemerintah juga fokus pada pengelolaan sampah dari hulu ke hilir, mencegah kebocoran plastik sepanjang siklus hidupnya, serta melakukan remediasi dan restorasi ekosistem yang tercemar oleh plastik.
Menurut Hanif, jika sampah plastik tidak ditangani secara komprehensif, maka akan menimbulkan masalah pencemaran lingkungan yang serius. Plastik sulit terurai secara alami dan dapat menghasilkan mikroplastik yang berdampak buruk bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Oleh karena itu, pemerintah akan mengutamakan penggunaan kembali atau daur ulang sebagai langkah utama.
Selain itu, Kementerian Lingkungan Hidup telah menghentikan impor scrap plastik sejak 1 Januari 2025. Upaya ini merupakan bagian dari komitmen pemerintah untuk meminimalkan penggunaan sampah plastik. Dalam hal ini, produsen produk yang masih menggunakan plastik sebagai kemasan juga diminta untuk bertanggung jawab.
Salah satu inisiatif penting adalah penerapan extended producer responsibility (EPR), yang saat ini bersifat sukarela, tetapi sedang ditingkatkan statusnya menjadi wajib. Langkah ini bertujuan untuk memastikan produsen bertanggung jawab atas pengelolaan sampah yang dihasilkan.
Untuk mencapai target penyelesaian masalah tata kelola sampah pada 2029, pemerintah telah merancang berbagai strategi. Salah satunya adalah penerapan waste to energy, yang menjadi cara terakhir dalam mengatasi permasalahan sampah. Peraturan presiden tentang waste to energy telah selesai disusun, dengan fokus pada kabupaten/kota yang memiliki timbulan sampah harian minimal 1.000 ton. Namun, penerapan ini membutuhkan persiapan matang, termasuk pendanaan yang cukup besar.
Saat ini, Indonesia tengah melaksanakan transformasi besar dalam pengelolaan sampah. Tersedia 250 Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST), 42.033 Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle (TPS3R), serta fasilitas modern seperti biodigester, Refuse-Derived Fuel (RDF), dan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di 33 kota besar. Selain itu, sebanyak 343 Tempat Pembuangan Akhir (TPA) terbuka tengah dikonversi menjadi sanitary landfill.
Inisiatif ini diperkirakan membutuhkan investasi sebesar Rp300 triliun dan terbuka bagi partisipasi swasta melalui pendekatan pentahelix. Kolaborasi pentahelix melibatkan pemerintah, akademisi, dunia usaha, masyarakat, dan media untuk menjaga lingkungan dan keanekaragaman hayati.
Dengan dukungan regulasi yang kuat, ilmu pengetahuan, investasi berkelanjutan, partisipasi publik, serta peran media, solusi pengelolaan sampah berkelanjutan akan lebih efektif dan berdampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat dan lingkungan yang lebih hijau.
Data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) menunjukkan bahwa jumlah timbulan sampah di Indonesia pada 2024 mencapai 46,63 juta ton, dengan 10,8 juta ton di antaranya adalah sampah plastik. Timbulan sampah plastik meningkat dari 11% pada 2010 menjadi 19,71% pada 2024. Namun, hanya 39% sampah plastik yang mampu diolah dengan baik, sisanya masih ditimbun di TPA yang menggunakan sistem pembuangan terbuka, dibakar secara terbuka, atau terbuang di ruang terbuka darat dan perairan.
Dalam upaya mengatasi permasalahan ini, Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan menargetkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) rampung pekan depan. Sampah yang menggunung akan dikelola menjadi listrik selambat-lambatnya dalam dua tahun ke depan.
Zulhas mendapatkan mandat bersama CEO Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) Rosan P. Roeslani untuk menyelesaikan persoalan sampah. Ia berharap setelah Perpres tuntas dalam waktu enam bulan, pemerintah bisa menyelesaikan administrasi PLTSa dan membangun pembangkitnya dalam satu tahun enam bulan.
Sejumlah negara investor seperti Singapura, Jepang, China, hingga Eropa menunjukkan minat terhadap bisnis pengolahan sampah menjadi energi listrik. Untuk menarik investor, diperlukan aturan yang memudahkan pendanaan dan teknologi. Danantara akan dilibatkan dalam pengembangan PLTSa, dengan tugas menarik investor dan perusahaan yang tertarik mengelola sampah melalui teknologi.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!