
Kritik terhadap Proses Pemilihan Hakim MK
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia menyampaikan kritik terhadap proses pemilihan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Menurut lembaga tersebut, mekanisme yang digunakan dalam pemilihan ini tidak transparan dan minim partisipasi publik. Hal ini dinilai bertentangan dengan prinsip dasar hukum yang menegaskan pentingnya keterbukaan dan keadilan dalam proses pengambilan keputusan.
Dalam seleksi tersebut, DPR hanya menggelar uji kelayakan dan kepatutan ( fit and proper test ) terhadap satu calon tunggal, yaitu Inosentius Samsul, yang kemudian langsung ditetapkan sebagai hakim konstitusi pengganti Arief Hidayat. Deputi Direktur PSHK, Fajri Nursyamsi, menilai bahwa cara ini tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang menekankan keterbukaan dan partisipasi masyarakat.
"Proses ini bukan transparan, melainkan justru menguatkan kesan bahwa hakim konstitusi dijadikan perpanjangan tangan DPR," ujar Fajri, Jumat (22/8/2025). Ia menilai bahwa praktik seperti ini berpotensi mengancam independensi MK dalam menjalankan fungsi pengujian undang-undang. Dengan calon yang berasal dari lingkar birokrasi DPR, dikhawatirkan MK akan kehilangan peran sebagai lembaga pengimbang kekuasaan, terutama di tengah tren otoritarianisme melalui autocratic legalism.
Pelanggaran Aturan dan Keterbukaan
PSHK juga menilai DPR melanggar Pasal 19 dan Pasal 20 UU Mahkamah Konstitusi yang mengatur bahwa seleksi harus dilakukan secara objektif, akuntabel, transparan, dan terbuka. "Tidak ada pengumuman pendaftaran calon secara luas, tidak ada partisipasi publik, dan tidak ada panitia seleksi independen. Semuanya diatur seolah untuk memuluskan satu nama saja," ujar Fajri menambahkan.
Selain itu, ia juga menyoroti potensi conflict of interest, mengingat Inosentius masih menjabat sebagai Ketua Badan Keahlian Setjen DPR. Proses seleksi yang dijalankan Komisi III DPR dinilai menutup ruang kritik publik dan pada akhirnya menurunkan legitimasi hasilnya.
Masa Jabatan yang Panjang dan Kehadiran Warga Negara
Menurut Fajri, jabatan hakim MK memiliki masa jabatan panjang, maksimal 15 tahun atau hingga usia 70 tahun. Karena itu, mekanisme pemilihan seharusnya dilakukan secara ketat, transparan, dan melibatkan masyarakat untuk melahirkan sosok negarawan berintegritas, bukan sekadar representasi kepentingan lembaga pengusul.
Berdasarkan temuan tersebut, PSHK mendesak DPR membatalkan penetapan Inosentius Samsul dan mengulang proses pemilihan hakim MK dari awal dengan membuka pendaftaran secara luas dan transparan. Presiden Prabowo Subianto juga diminta untuk menunda pelantikan.
"Proses ini harus diulang. Hakim konstitusi bukan wakil DPR di MK, melainkan penjaga konstitusi dan hak-hak warga negara," ujar Fajri. Ia menekankan bahwa hakim MK harus menjadi simbol keadilan dan keseimbangan dalam sistem pemerintahan yang demokratis.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!