
Mengapa Logika “Jika Kita Dijajah oleh Negara X, Kita Akan Lebih Maju” Salah Kaprah
Banyak orang sering mengatakan, “Coba saja kita dijajah oleh negara Y, pasti sekarang lebih maju!” atau “Kalau kita masih ada di bawah jajahan negara Z, mungkin tidak sengsara seperti sekarang!” Tampaknya argumen ini menarik, tetapi sebenarnya sangat salah. Kolonialisme, siapa pun pelakunya, memiliki tujuan yang sama: eksploitasi, bukan membangun bangsa jajahan. Jika penjajahan benar-benar membawa kemajuan, leluhur kita tidak akan mati-matian berjuang untuk merdeka. Mari kita coba mengungkap mengapa logika ini salah.
1. Kolonialisme Bertujuan Eksploitasi, Bukan Bantuan Sosial Sukarela
Sejarawan ekonomi seperti Kamer Daron Acemoglu menjelaskan bahwa penjajah menciptakan sistem untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya, bukan untuk membangun bangsa jajahannya. Meskipun terkadang mereka membuat sekolah atau jalan, itu hanya agar proses eksploitasi bisa berjalan lancar. Tidak ada penjajah yang benar-benar baik hati. Tujuan utama selalu sama: keuntungan bagi penjajah, bukan rakyat jajahan.
2. Kemajuan Tidak Ditentukan oleh Penjajah, Tapi Sistem Internal
Jika ada negara bekas jajahan yang kini maju, seperti Singapura, itu bukan karena penjajahnya lebih baik. Faktor lain seperti posisi strategis, pemimpin setelah merdeka, dan kebijakan internal berperan besar. Riset dari Sunny John Kaniyathu dalam tulisan “Evaluating the Impact of Colonialism on Economic Development: A Counterfactual Analysis” menunjukkan bahwa kolonialisme justru sering menyebabkan ketimpangan ekonomi dan kesulitan mandiri. Jadi, bukan soal “dijajah siapa”, tapi bagaimana kita membangun diri setelah merdeka.
3. Warisan Kolonialisme yang Buruk Jauh Lebih Banyak Daripada yang Baik
Buku Walter Rodney “How Europe Underdeveloped Africa” (1972) menjelaskan dengan jelas bahwa kolonialisme membuat masyarakat lokal semakin miskin, bukan berkembang. Sumber daya alam dieksploitasi, ekonomi lokal dihancurkan, dan rakyat dipaksa bekerja keras. Bahkan infrastruktur yang tersisa sangat sedikit dibanding kerusakan sosial dan ekonomi yang ditinggalkan.
Di bidang kesehatan, kolonialisme meninggalkan trauma transgenerasional, ketidakadilan struktural, dan dampak pada kesehatan psikologis maupun fisik generasi berikutnya.
4. Kolonialisme Mengacaukan Budaya dan Ilmu Lokal
Bukan hanya ekonomi, ilmu pengetahuan dan budaya lokal juga ditekan. Sebelum kolonialisme masuk, masyarakat Bugis memiliki sistem gender yang kompleks. Ada lima kategori gender:
- Oroané (laki-laki)
- Makunrai (perempuan)
- Calalai (lahir perempuan tapi berperan sosial sebagai laki-laki)
- Calabai (lahir laki-laki tapi berperan sosial sebagai perempuan)
- Bissu (pendeta androgini, dianggap sakral dan memiliki peran spiritual penting)
Sistem ini membuat masyarakat Bugis relatif inklusif terhadap ekspresi gender yang di luar biner, bahkan memberi posisi terhormat kepada bissu dalam upacara adat dan ritual keagamaan.
Namun, ketika kolonialisme masuk, terutama melalui misi Kristenisasi dari Belanda, ideologi Barat yang hanya mengakui dua gender dan heteroseksualitas dibawa serta. Nilai-nilai ini kemudian dipropagandakan lewat sekolah, gereja, dan hukum kolonial. Akibatnya:
- Norma gender non-biner dianggap menyimpang
- Bissu, calalai, dan calabai dipinggirkan, bahkan dianggap tidak bermoral
- Ritual tradisional ditekan atau dilarang karena bertentangan dengan ajaran Kristen
- Stigma baru muncul: ekspresi gender di luar biner yang sebelumnya diterima menjadi dianggap dosa atau penyakit
Sejarawan dan antropolog seperti Sharyn Graham Davies dalam bukunya “Gender Diversity in Indonesia” (2007) menunjukkan bahwa kolonialisme mempersempit spektrum gender dan seksualitas di Bugis, mengganti sistem lokal yang kaya dengan norma Barat yang kaku. Ini adalah contoh konkret bahwa kolonialisme bukan hanya tentang ekonomi, tapi juga mengacaukan tatanan budaya dan identitas masyarakat lokal.
5. Jika Kolonialisme Bagus, Kenapa Kita Memperjuangkan Kemerdekaan?
Ada segelintir akademisi yang mengatakan bahwa kolonialisme membawa manfaat seperti jalan, rel kereta, sekolah, dan bangunan megah. Namun, mayoritas peneliti (misalnya dari LSE dan Washington Post) sepakat bahwa manfaat yang didapat jauh lebih kecil dibanding kerusakan, ketidakadilan, dan kekerasan yang ditinggalkan. Logikanya sederhana: jika benar menjajah itu “menguntungkan”, leluhur kita tidak akan mati-matian berjuang untuk merdeka.
Argumen “kalau kolonialisnya Y, kita pasti lebih maju” adalah narasi simplistik dan berbahaya. Kolonialisme (terlepas siapa pelakunya) adalah sistem eksploitasi yang mengubur potensi lokal, menciptakan ketergantungan, dan mewariskan struktur sosial yang timpang. Alih-alih mengapresiasi kolonialisme sebagai alat kemajuan, kita perlu memahami bahwa kemajuan sejati lahir dari rekonstruksi institusional, penguatan lokal, dan pelepasan diri dari warisan kolonial.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!