
Peristiwa Tragis Pesta Pernikahan Anak Gubernur Jawa Barat
Pada tanggal 18 Juli 2025, sebuah peristiwa tragis terjadi saat pesta pernikahan anak Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, berlangsung di Pendopo Garut. Acara yang awalnya diharapkan menjadi momen bahagia berubah menjadi bencana setelah warga berdesak-desakan untuk mendapatkan paket makanan gratis. Akibatnya, tiga orang meninggal dunia, termasuk dua warga sipil dan seorang anggota polisi.
Peristiwa ini langsung menarik perhatian publik dan menimbulkan banyak pertanyaan mengenai penanganan yang dilakukan oleh aparat hukum. Banyak pihak mengkritik proses penyelidikan yang dinilai terlalu lamban. Sejumlah akademisi dan lembaga hukum menyoroti ketidakjelasan dalam penanganan kasus ini, serta kekhawatiran akan adanya kelalaian yang menyebabkan kematian.
Penanganan Awal dan Perpindahan Tanggung Jawab
Awalnya, Polres Garut bertanggung jawab atas penyelidikan kasus ini. Mereka memeriksa sekitar 10 saksi, termasuk dari Satpol PP dan event organizer. Namun, pada 20 Juli, penanganan kasus ini diambil alih oleh Polda Jabar setelah Kapolda Rudi Setiawan memimpin olah TKP malam itu.
Sayangnya, hingga akhir Agustus, belum ada perkembangan signifikan yang diumumkan. Hal ini memicu kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk para ahli hukum pidana. Salah satu tokoh yang menyoroti masalah ini adalah Leni Anggraeni dari Uninus. Ia menilai proses penanganan terkesan berlarut-larut, meskipun ada dugaan kuat tentang unsur kelalaian yang menyebabkan kematian, seperti yang diatur dalam Pasal 359 KUHP. Ia juga meminta agar Polda Jabar mempercepat proses investigasi.
Selain itu, dua akademisi dari Universitas Trisakti, Azmi Syahputra dan Abdul Fickar Fajar, menyatakan bahwa pihak penyelenggara acara (EO) bisa dijerat secara pidana karena manajemen keramaian yang lemah dan gagal dalam antisipasi risiko. Mereka menegaskan pentingnya tanggung jawab dari semua pihak terkait dalam menjaga keselamatan peserta acara.
Tuntutan Keterbukaan dan Kesetaraan Hukum
Tidak hanya akademisi, lembaga bantuan hukum dan PBHI juga turut berkomentar. Mereka menegaskan bahwa prinsip equality before the law harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Baik itu anak gubernur maupun pejabat lain, jika terbukti lalai, maka harus diproses sesuai hukum yang berlaku.
Beberapa pihak bahkan meminta keterbukaan publik dalam proses penyelidikan. Aliansi masyarakat Garut mendesak agar proses penyelidikan dilakukan secara transparan. Mereka juga menyatakan bahwa Kompolnas terbuka untuk memeriksa Gubernur Dedi Mulyadi atau keluarganya jika diperlukan.
Pernyataan Gubernur Dedi Mulyadi
Dalam pernyataannya, Gubernur Dedi Mulyadi menyatakan bahwa jika dipanggil, ia siap memberikan keterangan dan menyerahkan segala sesuatunya kepada hukum. Baginya, semua orang harus dianggap sama di mata hukum. Ia menekankan pentingnya keadilan dan kejujuran dalam penanganan kasus ini.
Meski begitu, masih banyak yang merasa khawatir akan keadilan yang sebenarnya. Masyarakat berharap proses hukum dapat berjalan cepat dan transparan, sehingga tidak ada yang merasa dirugikan. Dengan demikian, kasus ini bisa menjadi contoh penting dalam menegakkan hukum dan menjaga keselamatan masyarakat.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!