
Perubahan Politik yang Mendalam di Nepal
Perdana Menteri Nepal, Khadga Prasad Oli, mengundurkan diri pada hari Selasa (9/9/2025), setelah terjadi gelombang protes anti-pemerintah yang berujung pada kerusuhan. Situasi ini menandai awal dari gejolak politik baru di negara yang terletak di kaki Pegunungan Himalaya. Dalam surat pengunduran dirinya kepada Presiden Nepal Ram Chandra Poudel, Oli menyatakan bahwa ia mengundurkan diri untuk memfasilitasi solusi atas masalah yang sedang berlangsung dan membantu menyelesaikan situasi secara politik sesuai dengan konstitusi.
Pengumuman pengunduran diri itu terjadi setelah para demonstran membakar rumah pejabat tinggi Nepal, termasuk kediaman pribadi Presiden Poudel dan Menteri Dalam Negeri Nepal Ramesh Lekhak. Hal ini menunjukkan intensitas protes yang semakin meningkat dan mencerminkan ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahan saat ini.
Ancaman Kekacauan Politik
Para ahli hukum tata negara memberi peringatan bahwa Nepal berisiko menghadapi kekacauan politik yang berkepanjangan jika tidak segera dibentuk pemerintahan persatuan nasional. Bipin Adhikari, profesor hukum tata negara di Universitas Kathmandu, menyatakan bahwa tidak ada ketentuan konstitusional yang jelas mengenai apa yang seharusnya terjadi selanjutnya dalam situasi seperti ini. Ia menyarankan bahwa presiden dapat menyerukan pembentukan pemerintahan konsensus nasional.
Menurutnya, Perdana Menteri harus dipilih dari parlemen sesuai konstitusi 2015, sambil memastikan tuntutan generasi muda Gen Z diakomodasi lewat keterwakilan mereka di dalam dialog ini.
Kekosongan Politik yang Mengkhawatirkan
CD Bhatta, ilmuwan politik sekaligus manajer program senior di Friedrich Ebert Foundation (FES) Nepal, menyatakan bahwa kredibilitas seluruh kekuatan politik menjadi tidak relevan. Menurutnya, semua pihak kini mencoba memanfaatkan situasi untuk memimpin pemerintahan. Ia menilai bahwa situasi ini telah memasuki kekosongan politik dan konstitusional.
Ia menyarankan bahwa situasi harus segera ditangani oleh presiden dengan dukungan militer. "Satu-satunya opsi adalah membentuk pemerintahan sipil hingga terpilih pemerintahan baru, dengan dukungan penuh tentara Nepal yang masih menjadi satu-satunya kekuatan sah di negara ini," ujarnya.
Adhikari sependapat dengan pandangan tersebut. Ia menegaskan bahwa pemerintahan ini harus mendapat dukungan militer Nepal, yang saat ini menjadi satu-satunya kekuatan yang mampu menjaga ketertiban.
Akar Kerusuhan Terbaru
Nepal, negara pegunungan tanpa akses laut yang terjepit di antara India dan China, telah lama menghadapi ketidakstabilan politik dan krisis ekonomi selama dua dekade terakhir. Kerusuhan terbaru pecah setelah pemerintah memberlakukan larangan menyeluruh terhadap 26 platform media sosial yang belum terdaftar secara lokal, termasuk Facebook, X, YouTube, LinkedIn, dan WhatsApp, pekan lalu.
Larangan ini diduga diputuskan setelah video unggahan anak-anak dan keluarga pejabat Nepal memicu amarah publik, karena menampilkan gaya hidup bertabur kemewahan di tengah kemiskinan. Pemerintah beralasan bahwa platform-platform media sosial gagal mematuhi aturan baru yang mengharuskan perusahaan menunjuk kantor penghubung di Nepal. Namun, para pengkritik menyebut langkah itu sebagai serangan terhadap kebebasan berekspresi sekaligus upaya membungkam kritik dan oposisi.
Protes yang Meluas
Analis menilai protes tidak semata-mata dipicu larangan media sosial, melainkan juga mencerminkan frustrasi dan kekecewaan yang meluas atas korupsi serta buruknya tata kelola. Aksi yang didorong kelompok muda berusia 18–30 tahun itu sejauh ini berlangsung tanpa kepemimpinan jelas. Banyak anak muda marah karena anak-anak elit politik hidup dalam kemewahan sementara mayoritas generasi muda kesulitan mencari pekerjaan layak.
"Kami tidak menentang sistem politik atau konstitusi. Kami menentang pemerintahan kroni, partai politik, dan kepemimpinan mereka yang tidak kompeten," kata seorang perwakilan gerakan protes yang enggan disebut namanya.
Tuntutan Akuntabilitas
Pada Senin (8/9/2025), puluhan ribu warga turun ke jalan di ibu kota Kathmandu, mengepung gedung Parlemen. Aparat keamanan melepaskan tembakan ke arah massa, menewaskan sedikitnya 19 orang dan melukai sekitar 150 lainnya. Tidak lama berselang, gedung wakil rakyat itu hangus terbakar.
Kelompok HAM menyerukan pertanggungjawaban dan investigasi independen atas brutalitas aparat keamanan. Nirajan Thapaliya, direktur Amnesty International Nepal, mengatakan organisasinya sangat mengecam penggunaan senjata mematikan maupun non-mematikan secara melawan hukum oleh aparat keamanan di Nepal dan mendesak otoritas untuk mengendalikan diri secara maksimal.
Gelombang protes memaksa pemerintah mencabut larangan media sosial pada Selasa pagi, sebelum Oli menyerahkan pengunduran dirinya. Namun, kemarahan terhadap pemerintah tak kunjung mereda, dengan aksi-aksi protes tetap berlanjut di Kathmandu meski ada jam malam tanpa batas. Setelah pengunduran diri Oli, militer Nepal mengunggah imbauan di X agar masyarakat menahan diri.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!