
Komite Percepatan Transformasi Digital dan Pentingnya Kolaborasi Lintas Sektor
Pada 26 Agustus lalu, rapat perdana Komite Percepatan Transformasi Digital Pemerintah (KPTDP) telah berlangsung dengan dipimpin langsung oleh Ketua Dewan Ekonomi Nasional, Luhut Binsar Pandjaitan. Rapat ini direncanakan akan dilakukan rutin setiap bulan untuk memastikan seluruh program transformasi digital berjalan sesuai target yang ditetapkan.
Komite ini memiliki peran penting sebagai wadah sinkronisasi antar kementerian dan lembaga di bawah satu komando. Selama ini, transformasi digital pemerintah sering mengalami hambatan akibat kurangnya koordinasi antar sektor. Untuk mengatasi hal ini, Luhut menekankan bahwa "ego sektoral harus ditanggalkan. Transformasi digital hanya bisa berhasil jika semua bekerja sama."
Saat ini, terdapat ribuan aplikasi pemerintahan yang dibuat oleh masing-masing kementerian dan lembaga. Sayangnya, aplikasi tersebut sering berjalan sendiri-sendiri tanpa integrasi yang memadai, sehingga menyebabkan ketidakefisienan dalam pengelolaan data dan layanan publik.
Kebijakan yang Sudah Dicanangkan
Sebelum pembentukan KPTDP, pemerintah telah mencanangkan berbagai kebijakan dan peraturan terkait transformasi digital. Contohnya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik; Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia; serta Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2023 tentang Percepatan Transformasi Digital, termasuk pembentukan INA Digital sebagai pelaksana teknis keterpaduan layanan GovTech Indonesia.
Namun, meskipun banyak program yang lahir dari kebijakan tersebut, hingga kini hasilnya masih jauh dari harapan, terutama dalam hal kualitas data. Banyak data pemerintah belum memenuhi standar rantai nilai data yang baik. Akibatnya, keputusan pemerintah sering tidak tepat sasaran, dan kepercayaan publik juga mulai melemah.
Masalah Data dan Konsekuensinya
Contoh nyata dari masalah ini adalah perbedaan angka kemiskinan dan daftar penerima bansos antara Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Sosial. Hal ini sering menyebabkan bantuan yang tidak tepat sasaran. Kasus pemblokiran jutaan rekening oleh PPATK juga menimbulkan keresahan karena banyak rekening ternyata tidak terkait dengan pelanggaran. Rilis BPS mengenai pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025 sebesar 5,12% juga menuai kritik para ekonom karena dianggap tidak mencerminkan kondisi riil masyarakat.
Perbedaan dan kontroversi data ini menegaskan perlunya mekanisme verifikasi yang lebih luas, inklusif, dan transparan. Situasi ini menunjukkan bahwa membangun infrastruktur digital atau menghadirkan super apps saja tidak cukup. Fondasi utama dari transformasi digital adalah kepercayaan publik terhadap kualitas data pemerintah.
Mempertegas Prinsip Gotong Royong dalam Digitalisasi
Luhut pernah menyampaikan istilah menarik yaitu "semangat gotong royong" dalam upaya mendorong digitalisasi pemerintahan. Istilah ini juga muncul dalam inisiatif Satu Data Indonesia yang pada Juni lalu menggelar Lokakarya Gotong Royong Data sebagai langkah awal kerja sama antarkementerian.
Gotong royong bukanlah hal baru bagi kita. Ia bagian dari DNA budaya Indonesia, sebuah kekuatan kolektif yang terbukti mampu menyatukan langkah banyak pihak menuju suatu tujuan. Oleh karena itu, prinsip gotong royong dalam transformasi digital tidak boleh berhenti pada kolaborasi antarkementerian, tetapi perlu dikembangkan lebih jauh menjadi kolaborasi pemerintah-warga yang melibatkan peran aktif warga dan masyarakat secara sistematis di setiap tahapan rantai nilai data.
Di dunia internasional, pendekatan seperti ini dikenal dengan istilah Citizen Generated Data atau dalam bahasa Indonesia dapat kita sebut sebagai Data Gotong Royong Warga (DGRW), sebuah konsep yang menegaskan bahwa digitalisasi bukan hanya urusan pemerintah, melainkan juga gerakan bersama rakyat.
Manfaat dan Implementasi Data Gotong Royong Warga
Pemerintah dapat meningkatkan akurasi, keterbaruan, dan transparansi data publik dengan melibatkan warga secara aktif dalam proses pengumpulan, verifikasi, dan pelaporan data secara sistematis. Model kolaboratif pemerintah-warga ini tidak hanya meminimalkan kesalahan data dan mencegah kebocoran anggaran, tetapi juga menumbuhkan rasa kepemilikan warga terhadap sistem digital nasional, yang pada akhirnya memperbesar tingkat kepercayaan terhadap pemerintah.
Sebagai contoh, melalui DGRW, data kemiskinan dan penerima bansos bisa diverifikasi langsung oleh masyarakat lokal melalui aplikasi pelaporan digital. Inovasi seperti Payment ID, identitas unik bagi setiap penerima manfaat, yang segera diluncurkan, dapat dipadukan dengan DGRW agar warga ikut memastikan bantuan benar-benar diterima oleh penerima sah tanpa duplikasi maupun kebocoran.
Di sektor pertanian, petani dapat mengunggah data produksi dan stok pangan secara aktual yang kemudian diverifikasi bersama pemerintah daerah. Program makan bergizi gratis juga bisa lebih tepat sasaran dengan melibatkan orang tua, sekolah, dan masyarakat dalam memverifikasi data penerima secara langsung.
Langkah-Langkah untuk Mewujudkan DGRW
Implementasi DGRW tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Perlu perencanaan matang agar hasilnya benar-benar bermanfaat. Beberapa panduan internasional sudah tersedia, seperti Copenhagen Framework for Citizen Data, Collaborative for Citizen Data dari Badan Statistik PPB, serta PARIS21 Citizen Generated Data Toolkit.
Untuk memastikan penerapan DGRW berhasil, secara garis besar pemerintah perlu membangun kepercayaan publik dan kualitas data melalui mekanisme validasi, audit, dan verifikasi warga yang baku; memperkuat tata kelola yang jelas mengenai kepemilikan, akses, dan pemanfaatan data; meningkatkan literasi digital masyarakat agar kontribusi mereka relevan dan bermanfaat; menyiapkan infrastruktur dan arsitektur digital yang aman serta memiliki interoperabilitas tinggi; serta mendorong kemitraan yang berkelanjutan agar inisiatif ini konsisten, inklusif, dan dipercaya semua pihak.
Dengan DGRW, Indonesia dapat membangun ekosistem digital dan data publik yang lebih berkualitas, dipercaya, dan efektif. Inilah pondasi penting untuk mewujudkan kemajuan transformasi digital Indonesia yang inklusif, transparan, dan berkelanjutan.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!