
Evaluasi Pergub Nomor 22 Tahun 2025 tentang Tunjangan DPRD NTT
Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Nusa Tenggara Timur (NTT) menyarankan agar Peraturan Gubernur (Pergub) NTT Nomor 22 Tahun 2025 tentang tunjangan perumahan dan transportasi anggota DPRD dievaluasi kembali. Saran ini disampaikan dalam dialog yang digelar di Kantor Gubernur NTT, Selasa, 9 September 2025, menanggapi protes publik terkait besaran tunjangan tersebut.
Dialog dipimpin langsung oleh Gubernur NTT Melki Laka Lena bersama Wakil Gubernur Johni Asadoma. Hadir dalam acara ini unsur Forkompimda, akademisi dari Universitas Nusa Cendana dan Universitas Kristen Artha Wacana, aliansi mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat (LSM), media massa, serta perangkat daerah terkait.
Gubernur NTT menyampaikan bahwa DPRD secara kelembagaan telah menyatakan kesediaan untuk mengikuti proses evaluasi Pergub Nomor 22 Tahun 2025. Proses evaluasi diharapkan dapat mengacu pada ketentuan hukum, mekanisme yang berlaku, serta aspirasi masyarakat.
Ia berharap elemen-elemen terkait dapat memberi masukan kepada pemerintah provinsi agar dalam mengkaji kembali besaran tunjangan tersebut memenuhi harapan publik dan sesuai kemampuan keuangan daerah. Gubernur dan Wakil Gubernur NTT juga memberi kesempatan seluas-luasnya kepada seluruh aliansi mahasiswa untuk menyampaikan pandangan dan saran terkait besaran tunjangan transportasi dan perumahan yang akhir-akhir ini diprotes publik.
Selama dialog, aliansi mahasiswa secara tegas meminta agar Pergub tersebut direvisi dengan mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi NTT. Berdasarkan data BPS Maret 2025, tingkat kemiskinan di provinsi ini masih mencapai 18,6 persen atau sekitar 1,1 juta jiwa.
Selain mahasiswa, pandangan juga datang dari akademisi, Badan Keuangan Daerah, Biro Hukum, serta Sekretariat DPRD NTT. Ombudsman NTT sendiri hadir sebagai pihak independen untuk mendengar masukan seluruh peserta.
Kepala Ombudsman NTT, Darius Beda Daton, menyatakan bahwa pihaknya telah menyiapkan masukan tertulis yang diserahkan kepada Wakil Gubernur. Menurutnya, penetapan tunjangan DPRD harus berlandaskan peraturan perundangan, kemampuan keuangan daerah, kondisi sosial ekonomi, serta hasil survei tim penilai kewajaran harga.
“Besaran tunjangan DPRD NTT dalam Pergub Nomor 22 Tahun 2025 belum mengacu pada Pergub Nomor 25 Tahun 2025 tentang Standar Biaya Umum (SBU) Provinsi NTT serta hasil survei kewajaran harga. Padahal, SBU adalah acuan batas tertinggi pengeluaran daerah,” jelas Darius.
Ia menambahkan, jika tunjangan melebihi standar yang ditetapkan, maka berpotensi menimbulkan risiko hukum maupun keuangan. “Ada kemungkinan BPK meminta pengembalian kelebihan tunjangan atau berimplikasi hukum jika rekomendasi tidak dilaksanakan,” katanya.
Ombudsman kemudian merekomendasikan agar Pergub tersebut direvisi dengan menyesuaikan besaran tunjangan sesuai SBU, hasil survei tim penilai, dan kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Lebih jauh, Darius menyebut dasar hukum yang wajib menjadi rujukan, antara lain PP Nomor 18 Tahun 2017 jo. PP Nomor 1 Tahun 2023 tentang Hak Keuangan dan Administrasi DPRD, Permendagri Nomor 62 Tahun 2017, PMK Nomor 39 Tahun 2024 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2025, serta Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja APBN dan APBD.
“Kami berharap seluruh pihak terus memantau proses evaluasi Pergub ini agar hasilnya sesuai dengan prinsip keadilan, kepatuhan hukum, dan kondisi nyata masyarakat NTT,” tutup Darius.
Ombudsman juga menyampaikan apresiasi kepada mahasiswa yang konsisten melakukan aksi damai, media massa yang memberi ruang publikasi, serta masyarakat yang menyuarakan kritik melalui berbagai saluran.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!