
Dampak Lembur pada Kesehatan Mental
Lembur dalam jangka panjang bukan hanya menguras tenaga, tetapi juga memberikan beban besar pada kesehatan mental pekerja. Menurut meta-analisis yang dilakukan oleh Wong, Chan, dan Ngan (2019), jam kerja yang terlalu panjang berkaitan erat dengan meningkatnya risiko stres, depresi, kecemasan, serta gangguan kualitas tidur. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pekerja yang menghabiskan lebih dari 48–55 jam per minggu cenderung mengalami gejala depresi dan kecemasan lebih tinggi dibanding mereka yang bekerja dengan jam normal.
Dalam studi di Jepang, individu yang bekerja antara 80 hingga hampir 100 jam per minggu memiliki risiko depresi yang meningkat hampir tiga hingga tujuh kali lipat dibanding mereka yang bekerja kurang dari 60 jam per minggu. Tidak berhenti di situ, lembur juga seringkali memicu stres psikologis. Bekerja lebih dari 10 jam per hari atau melakukan lembur lebih dari 40 jam dalam sebulan terbukti menambah beban emosional. Kondisi ini dapat menimbulkan rasa kelelahan mental, perasaan tertekan, hingga hilangnya motivasi.
Selain itu, jam kerja panjang juga memengaruhi kebiasaan hidup tidak sehat seperti meningkatnya konsumsi alkohol, rokok, dan berkurangnya aktivitas fisik. Semua faktor ini saling berkaitan dan memperburuk kondisi mental pekerja, menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus. Dengan kata lain, lembur yang dilakukan terus-menerus bukan hanya melelahkan secara fisik, tetapi juga dapat merusak kesehatan mental seseorang dalam jangka panjang.
Dampak Lembur pada Kesehatan Fisik
Selain kesehatan mental, lembur yang dilakukan terus-menerus juga memiliki dampak serius pada kesehatan fisik. Menurut meta-analisis Wong, Chan, dan Ngan (2019), jam kerja yang panjang terbukti berhubungan dengan meningkatnya risiko berbagai penyakit kronis. Pertama, lembur berlebihan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular. Studi-studi besar menemukan bahwa orang yang bekerja lebih dari 55 jam per minggu memiliki kemungkinan lebih tinggi mengalami penyakit jantung iskemik dan stroke dibanding mereka yang bekerja 35–40 jam per minggu.
Hal ini terjadi karena tubuh terus dipaksa bekerja dalam kondisi stres, yang pada akhirnya memengaruhi tekanan darah, kadar kolesterol, dan sistem peredaran darah secara keseluruhan. Kedua, lembur juga sering dikaitkan dengan gangguan metabolisme, seperti obesitas dan diabetes tipe 2. Jam kerja panjang biasanya membuat seseorang kurang tidur, jarang olahraga, dan cenderung memilih pola makan instan atau tidak sehat. Kebiasaan ini memperburuk metabolisme tubuh dan menambah risiko penyakit serius dalam jangka panjang.
Tidak hanya itu, bekerja terlalu lama juga menyebabkan kelelahan kronis. Rasa lelah yang berkepanjangan ini sering diabaikan, padahal bisa memicu penurunan sistem imun. Akibatnya, tubuh lebih rentan terkena berbagai penyakit, dari flu ringan hingga masalah kesehatan yang lebih berat. Dengan kata lain, lembur yang dianggap wajar di dunia kerja modern ternyata bisa diam-diam menggerogoti kesehatan fisik kita. Jika dibiarkan tanpa batasan, dampaknya bukan hanya sesaat, melainkan dapat memengaruhi kualitas hidup hingga usia tua.
Ironi di Balik Lembur
Kalau dipikir-pikir, lembur sering dipandang sebagai bentuk dedikasi dan profesionalisme. Banyak pekerja yang merasa bangga bisa bekerja sampai larut malam demi menyelesaikan target. Bahkan perusahaan kadang menganggap lembur sebagai indikator loyalitas karyawan. Namun di balik itu semua, ada ironi yang tidak bisa diabaikan. Alih-alih meningkatkan produktivitas, lembur justru sering menghasilkan efek sebaliknya. Tubuh yang kelelahan dan pikiran yang sudah jenuh membuat kualitas kerja menurun drastis.
Kesalahan kecil yang tidak terjadi saat kondisi fit bisa muncul berulang-ulang ketika seseorang dipaksa bekerja melebihi kapasitasnya. Dengan kata lain, lembur yang awalnya dianggap solusi malah menjadi bumerang. Ironi lainnya adalah soal kesehatan. Demi “mengejar” pekerjaan, banyak orang rela mengorbankan tidur, olahraga, bahkan waktu makan. Padahal, tanpa disadari, kebiasaan ini justru memotong usia produktif mereka sendiri. Pekerjaan memang selesai, tapi tubuh perlahan rusak.
Lebih jauh lagi, lembur yang dianggap jalan pintas untuk meningkatkan karier atau penghasilan seringkali malah menggerus kehidupan personal. Waktu bersama keluarga berkurang, hubungan sosial renggang, dan rasa lelah yang terus menumpuk membuat kualitas hidup menurun. Akhirnya, apa yang dikejar dari lembur—prestasi, uang, atau pengakuan—sering tidak sebanding dengan harga yang harus dibayar.
Strategi Mengelola Lembur agar Tidak Merusak Kesehatan
Kalau membicarakan dampak lembur, rasanya akan berat sebelah kalau kita tidak membahas cara mengelola beban kerja supaya tetap sehat. Faktanya, lembur tidak selalu bisa dihindari. Namun, ada strategi yang bisa membantu agar jam kerja tambahan ini tidak sampai mengorbankan kesehatan mental maupun fisik.
Promosikan work-life balance – Banyak karyawan yang merasa harus lembur karena takut terlihat malas kalau pulang tepat waktu. Padahal, budaya kerja seperti ini justru berbahaya. Perusahaan, terutama manajer dan HR, perlu memberi contoh bahwa pulang tepat waktu bukan berarti tidak profesional. Work-life balance bukan sekadar slogan, tapi praktik nyata yang bisa ditunjukkan dari atas ke bawah.
Tetapkan ekspektasi yang realistis – Seringkali lembur terjadi bukan karena pekerjaan terlalu penting, tapi karena target yang dipatok memang tidak realistis. Beban kerja harus disesuaikan dengan jam kerja normal. Dengan begitu, karyawan tidak perlu “menambal” waktu dengan lembur hanya demi memenuhi ekspektasi yang mustahil.
Biasakan istirahat singkat – Terkadang, produktivitas bukan soal berapa lama kita duduk di depan layar, tapi seberapa pintar kita memberi jeda. Break sebentar untuk sekadar jalan kaki, stretching, atau rehat mata bisa membantu otak lebih segar. Justru tanpa jeda, hasil kerja akan lebih mudah menurun.
Bangun komunikasi yang terbuka – Banyak tekanan kerja muncul karena karyawan merasa tidak bisa menyuarakan keluhan atau keberatan soal beban kerja. Di sinilah pentingnya check-in rutin, ruang diskusi, dan budaya komunikasi yang sehat. Kalau karyawan bisa bicara jujur soal tekanan, potensi stres bisa lebih cepat ditangani.
Pantau kesejahteraan karyawan – Perusahaan tidak bisa hanya menunggu sampai karyawan jatuh sakit baru peduli. Survei, feedback, atau bahkan sesi evaluasi sederhana bisa jadi alat untuk memantau kesehatan mental tim. Dari sini, HR bisa mengambil langkah konkret berdasarkan data, bukan sekadar asumsi.
Gunakan teknologi dengan bijak – Fleksibilitas kerja jarak jauh atau tools digital memang membantu, tapi juga berpotensi menciptakan budaya “selalu online.” Di sinilah perusahaan perlu membuat aturan yang jelas, misalnya larangan email setelah jam kerja atau batas waktu respon pesan. Bekerja dengan teknologi seharusnya memudahkan, bukan membuat kita terikat 24/7.
Pada akhirnya, lembur memang tidak bisa sepenuhnya dihapus dari dunia kerja modern. Tapi dengan strategi yang tepat, dampaknya bisa diminimalisir, sehingga karyawan tetap produktif tanpa harus mengorbankan kesehatan dan kualitas hidupnya.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!