
Tantangan Komitmen Iklim di Sektor Perbankan
Di tengah perubahan iklim yang semakin mengancam, komitmen sektor perbankan terhadap lingkungan juga mengalami tantangan berat. Seiring dengan meningkatnya kekhawatiran terhadap dampak perubahan iklim, banyak bank global mulai mundur dari aliansi yang bertujuan untuk mendukung pengurangan emisi karbon. Salah satu aliansi tersebut adalah Net Zero Banking Alliance (NZBA), yang sebelumnya mewakili lebih dari 40% aset perbankan global.
Namun, dalam setahun terakhir, NZBA mengalami gelombang eksodus besar-besaran dari anggota-anggotanya. Hal ini dipicu oleh beberapa faktor, termasuk perubahan kebijakan lingkungan di berbagai negara. Misalnya, terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden AS memicu kekhawatiran tentang agenda anti-iklim yang akan diambil. Akibatnya, banyak bank besar Amerika dan Kanada mulai keluar dari aliansi ini. Pada Juli 2025, HSBC menjadi bank Inggris pertama yang menyatakan mundur dari NZBA.
Bank Indonesia dan Komitmen Iklim
Meskipun tidak ada institusi perbankan Indonesia yang terdaftar sebagai anggota NZBA, beberapa bank lokal tetap menunjukkan komitmen terhadap target iklim. Salah satunya adalah PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) atau BNI. Dalam presentasi kinerja semester I/2025, BNI menetapkan target untuk mencapai emisi nol atau net zero emission (NZE) dalam operasionalnya pada 2028, serta nol emisi dalam pembiayaan yang disalurkan pada 2060.
Namun, BNI masih memberikan pembiayaan kepada sektor-sektor tinggi emisi seperti batu bara dan perkebunan sawit. Untuk memastikan bahwa pembiayaannya tidak digunakan untuk bisnis yang merusak lingkungan, BNI menerapkan persyaratan ketat. Contohnya, pembiayaan untuk sektor kelapa sawit hanya diberikan kepada perusahaan dengan sertifikat RSPO untuk skala besar dan ISPO untuk bisnis skala menengah.
Selain itu, debitur harus berkomitmen menerapkan kebijakan No Deforestation, No Peat, and No Exploitation (NDPE). Debitur sektor kelapa sawit juga wajib memiliki strategi untuk mengurangi dampak lingkungan dan sosial.
Untuk sektor pertambangan batu bara, BNI membatasi pembiayaan hanya untuk debitur dengan praktik ESG yang baik. Debitur harus memiliki analisis dampak lingkungan (AMDAL) dan setidaknya berstatus biru dalam penilaian PROPER Kementerian Lingkungan Hidup. Selain itu, debitur juga setuju untuk mematuhi klausul perjanjian pinjaman yang menyatakan bahwa mereka akan mematuhi semua peraturan lingkungan dan syarat dokumen yang berlaku. Kegagalan untuk mematuhi akan berdampak pada kelangsungan pinjaman.
Pertumbuhan Kredit dan Laba BNI
Per Juni 2025, total kredit yang disalurkan BNI untuk sektor batu bara mencapai 3,3% dari total pembiayaan. Sebagian besar pembiayaan sektor ini digunakan untuk mendukung aktivitas pertambangan dan perdagangan komoditas tersebut.
Pertumbuhan penyaluran kredit BNI sebesar 7,11% secara tahunan (year on year/YoY) dari Rp726,98 triliun menjadi Rp778,68 triliun pada semester I/2025. Perkembangan ini turut menopang perolehan laba bersih konsolidasi BNI sebesar Rp10,09 triliun hingga bulan keenam tahun ini. Meski demikian, laba bersih BNI turun 5,58% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Pembiayaan Hijau dan Portofolio Keberlanjutan
BNI juga tercatat menyalurkan pembiayaan hijau senilai Rp74 triliun per Juni 2025, tumbuh lebih dari 20% selama empat tahun terakhir. Secara detail, pembiayaan kategori Pengelolaan sumber daya alam hayati dan penggunaan lahan yang berkelanjutan mendominasi penyaluran kredit hijau, dengan nilai Rp35,9 triliun. Selanjutnya, pembiayaan hijau untuk energi terbarukan sebesar Rp11,6 triliun; pembiayaan lain-lain yang mencakup Pengelolaan air dan air limbah yang berkelanjutan sebesar Rp22,9 triliun; dan pencegahan polusi Rp3,6 triliun.
Selain itu, BNI juga menyalurkan pembiayaan penguatan dan pemberdayaan sosial ekonomi senilai Rp111,2 triliun sepanjang semester I/2025. Hal ini membuat total portofolio keberlanjutan BNI menembus Rp185,2 triliun atau setara 24,3% dari total penyaluran kredit.
Pendanaan Berkelanjutan dan Inovasi
BNI juga telah menyalurkan sustainability linked loan (SLL) sebesar US$352 juta atau Rp5,74 triliun. Pendekatan ini menunjukkan komitmen BNI untuk menjalankan kebijakan yang ramah lingkungan dan mendukung pembangunan berkelanjutan. Dengan langkah-langkah ini, BNI menunjukkan bahwa meskipun belum bergabung dengan NZBA, bank nasional ini tetap berupaya untuk memenuhi standar lingkungan yang lebih tinggi.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!