
Komisi III DPR RI Siap Libatkan Berbagai Pihak dalam Pembahasan RUU KUHAP
Komisi III DPR RI, yang dipimpin oleh Habiburrokhman, telah menyatakan niatnya untuk melibatkan berbagai pihak dalam proses pembahasan Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Langkah ini dilakukan sebagai upaya memastikan bahwa revisi undang-undang tersebut tidak mengurangi kekuatan penegakan hukum terutama dalam pemberantasan korupsi.
Dalam keterangannya kepada wartawan, Habiburrokhman menjelaskan bahwa Komisi III akan mengundang sejumlah lembaga dan organisasi. Di antaranya adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Lokataru, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Gandjar Bondan, Kementerian Hak Asasi Manusia (Kemenham), Komnas HAM, serta beberapa badan eksekutif mahasiswa (BEM) dan elemen masyarakat lainnya. Tujuannya adalah untuk mendapatkan masukan dan aspirasi dari berbagai pihak guna memperkaya diskusi dalam penyusunan RUU KUHAP.
Pembahasan RUU KUHAP akan dilanjutkan setelah masa sidang Agustus 2025 dimulai. Salah satu metode yang digunakan adalah dengan menyerap aspirasi dari berbagai kalangan masyarakat. Menurut Habiburrokhman, hal ini penting agar RUU KUHAP yang dihasilkan dapat mencerminkan kebutuhan dan harapan publik.
"Kami ingin memastikan bahwa KUHAP baru tidak melemahkan pemberantasan korupsi," ujarnya. Dengan demikian, Komisi III berkomitmen untuk menjaga keadilan dan efektivitas sistem peradilan pidana.
Selain mengundang lembaga-lembaga tersebut, Komisi III juga akan melakukan kunjungan kerja ke berbagai daerah untuk menyerap masukan langsung dari masyarakat. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa RUU KUHAP yang disusun memiliki dasar yang kuat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
"Lebih baik tidak ada KUHAP baru jika sampai melemahkan pemberantasan korupsi," tambah Habiburrokhman. Ia menekankan bahwa keberadaan KUHAP baru harus selaras dengan kepentingan umum dan tidak mengorbankan keadilan.
RUU KUHAP Jadi Perhatian Publik
RUU KUHAP menjadi salah satu isu yang mendapat perhatian luas dari masyarakat. Sejumlah pihak khawatir bahwa undang-undang yang mengatur hukum formal ini bisa membuat aparat kepolisian terlalu kuat dan rentan menyalahgunakan wewenang. Oleh karena itu, partisipasi aktif dari berbagai pihak sangat diperlukan dalam proses penyusunan RUU KUHAP.
RUU KUHAP juga dinilai penting untuk diselaraskan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang akan berlaku pada 2026 mendatang. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi ketidaksesuaian dalam sistem hukum yang berlaku.
Selama proses pembahasan RUU KUHAP, DPR telah mengundang berbagai organisasi masyarakat sipil seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Dengan adanya partisipasi aktif dari berbagai pihak, diharapkan RUU KUHAP dapat menjadi landasan yang kuat bagi sistem peradilan pidana yang lebih adil dan transparan.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!