
Ombudsman Jawa Timur Minta Polisi Buka Data Penegakan Hukum Terkait Unjuk Rasa
Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Jawa Timur menuntut agar Kepolisian Daerah (Polda) Jatim dan jajaran membuka data serta informasi terkait penegakan hukum dalam kasus unjuk rasa yang terjadi pada 30-31 Agustus 2025. Hal ini dilakukan untuk memastikan transparansi dan mencegah adanya penyalahgunaan wewenang.
Kepala Perwakilan Ombudsman RI Jawa Timur, Agus Muttaqin, menyatakan bahwa Polda dan polres seharusnya bersikap transparan dengan memberi akses kepada publik mengenai siapa saja yang ditangkap dalam kejadian tersebut. Ia juga menekankan pentingnya menjelaskan apakah para tersangka atau hanya sebatas saksi. Menurutnya, hal ini diperlukan agar tidak terjadi malaadministrasi dalam proses penegakan hukum.
Sejak Senin (8/9) hingga Kamis (11/9), Ombudsman RI Jawa Timur telah melakukan pengumpulan data terkait pengawasan pengendalian massa dan proses hukum di berbagai wilayah. Dari data yang dikumpulkan, ditemukan bahwa seorang personel Polrestabes Surabaya mengalami luka dan masih dirawat di rumah sakit.
Selain itu, beberapa aset kepolisian rusak akibat aksi unjuk rasa. Di Surabaya, satu kantor polsek dibakar dan 14 pos polisi juga mengalami kerusakan. Di Kediri, kantor Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (Samsat) dan dua pos polisi rusak terbakar. Di Malang, tiga pos polisi dirusak, sedangkan di Sidoarjo satu pos polisi juga dibakar.
Ombudsman juga bekerja sama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya yang selama ini aktif mengadvokasi tersangka dan memantau proses hukum. Dari posko pengaduan, LBH menerima banyak laporan mengenai penangkapan orang-orang yang dicurigai terlibat aksi anarkis.
Dari data yang dikumpulkan LBH, terdapat sejumlah tersangka yang ditahan. Rinciannya adalah enam di Polda, 33 di Polrestabes Surabaya, 12 di Polres Blitar Kota, satu di Polres Kediri Kota, satu di Polres Jember, dan satu di Polres Tulungagung. Beberapa dari tahanan tersebut merupakan anak-anak yang masih berstatus pelajar.
Agus Muttaqin menambahkan bahwa ada sejumlah kasus penangkapan di Jember yang tidak disertai surat perintah penangkapan. Selain itu, pemeriksaan tanpa pendampingan penasihat hukum juga terjadi. Di Surabaya, sekitar 20 orang yang dilepas tetapi ponsel mereka masih disita.
Menurut Agus, sikap polisi yang enggan mempublikasikan data penangkapan dapat berpotensi menimbulkan maladministrasi. Ia menyoroti beberapa isu seperti penahanan melebihi 1x24 jam, penangkapan tanpa surat perintah, pembatasan akses informasi identitas korban, pemeriksaan tanpa pendampingan, hingga penyitaan tanpa prosedur.
Agus juga mendorong Polda Jatim membuka hotline pengaduan agar masyarakat dapat melapor jika mengalami perlakuan sewenang-wenang. Hal ini juga dimaksudkan untuk memudahkan pengawasan internal penyidikan.
Transparansi sebagai Pilar Demokrasi
Secara terpisah, Komisioner Komisi Informasi (KI) Provinsi Jawa Timur, M. Sholahuddin, menilai transparansi adalah pilar utama demokrasi. Ia menekankan bahwa publik berhak mengetahui proses penegakan hukum, terutama dalam kasus yang menyangkut kerugian publik seperti pembakaran fasilitas umum.
Sholahuddin menegaskan bahwa polisi sebagai lembaga publik wajib menyampaikan informasi terbuka, termasuk jumlah tersangka, jenis pelanggaran, dan tahapan hukum yang berjalan. Namun, pengecualian dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, khususnya pasal 17, dapat diberlakukan jika informasi tersebut bisa menghambat proses penyidikan atau melanggar privasi individu.
Namun, ia menekankan bahwa pengecualian hanya boleh dilakukan dalam waktu sementara dan harus didasarkan pada peraturan hukum, bukan sekadar alasan keamanan atau privasi tanpa dasar. Sholahuddin juga mendorong kepolisian untuk membuka informasi secara bertahap sesuai perkembangan perkara dan memberikan alasan kuat jika identitas tersangka tidak dibuka.
Ia menekankan hak keluarga atas informasi status hukum anggota keluarganya harus dipenuhi melalui jalur jelas dan mudah diakses. Pada intinya, informasi harus dibuka, kecuali ada alasan kuat yang sah secara hukum untuk tidak melakukannya. Sholahuddin menyatakan akan terus memantau dan mendorong agar proses ini berjalan transparan dan akuntabel demi kepentingan publik.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!