
Kenangan Perjuangan di Semarang yang Masih Terasa
Sochib, seorang veteran berusia 96 tahun, masih mengingat dengan jelas peristiwa penting yang terjadi delapan dekade lalu. Saat itu, ia baru berusia 16 tahun dan ikut serta dalam perjuangan melawan tentara Jepang di Semarang. Peristiwa tersebut terjadi dua bulan setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Menurut Sochib, peristiwa ini dipicu oleh kekalahan Jepang akibat bom atom yang diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki. Ia mengatakan bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia merdeka. Namun, hanya dua bulan kemudian, situasi kembali memanas saat tentara Jepang menyerang kota Semarang tanpa alasan yang jelas.
“Waktu itu masyarakat tidak tahu penyebabnya apa. Mungkin karena dibom atom itu,” ujarnya saat ditemui di rumahnya di Desa Batursari, Kecamatan Mranggen, Kabupaten Demak, pada Jumat (15/8/2025).
Pertempuran Lima Hari di Semarang
Para pemuda Semarang pun melawan dengan senjata seadanya seperti bambu runcing, golok, pedang, hingga celurit. Bentrokan berlangsung selama lima hari dan menyebabkan banyak korban jiwa. Sejarah ini dikenal sebagai Pertempuran 5 Hari di Semarang, yang berlangsung dari 15 hingga 20 Oktober 1945.
Sochib mengingat betapa gigihnya semangat para pemuda saat itu. “Pemuda-pemuda kita melawan dengan senjata seadanya. Ada yang jadi korban dalam waktu 5 hari itu,” katanya.
Selain itu, sempat tersiar kabar bahwa sumber air bersih diracuni oleh Jepang. Dr. Kariadi, yang memeriksa air, justru ditembak, sehingga memperburuk amarah rakyat.
Kedatangan Pasukan Gorga dan Belanda
Sochib juga mengingat kedatangan pasukan bayaran Sekutu yang disebut Gorga. Awalnya mereka mengaku mengamankan Jepang, namun justru menambah kerusuhan. Tentara yang berperawakan tinggi besar ini diduga campuran dari pasukan Inggris, Amerika, dan Belanda.
“Lama-lama tidak aman, malah bikin rusuh. Belanda masuk Semarang bonceng sekutu. Terus ada gejolak lagi,” katanya.
Karena tidak mampu bertahan, Sochib akhirnya mengungsi ke Demak. Tak lama, ia mendengar bahwa rumah keluarganya di kawasan Indrapasta Semarang dibakar oleh pasukan Belanda.
Bergabung dengan Laskar Hizbullah
Meski mengungsi, tekad Sochib untuk berjuang tetap kuat. Pada Desember 1945, ia bergabung dengan Laskar Hizbullah Demak, meskipun sempat ditangisi oleh ibunya.
“Ibu saya menangis ketika saya ikut laskar. Tapi saya yakinkan, ‘Mak ojo nangis, koncone akeh, saya berjuang di sini bersama teman-teman’,” kenangnya.
Sochib bertugas di bagian perhubungan, mengurusi telepon dan kode militer. Ia pernah merasakan hujan mortir siang malam saat menyambungkan komunikasi antara komandan dan pasukan garis depan.
Pesan untuk Generasi Muda
Kini, di usianya yang hampir satu abad, Sochib berpesan agar generasi muda menekuni pendidikan dan menjauhi narkoba.
“Sekarang sudah merdeka 100 persen. Majulah dengan belajar yang baik. Jangan sampai terpengaruh narkoba dan minuman keras. Itu merusak generasi,” ujarnya.
Penyusutan Jumlah Veteran
Ketua Markas Cabang Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Demak, Romadhon, menyebut jumlah veteran di Jawa Tengah kini menyusut drastis. Dulu sekitar 4.000 orang, kini hanya tersisa 500 orang.
Di Demak, tersisa 25 veteran, termasuk dua veteran pejuang kemerdekaan, yakni Sochib dan Khusen. Namun, kesejahteraan para veteran dinilai belum sepenuhnya diperhatikan pemerintah. Bantuan sosial yang dulu rutin, kini sudah tidak ada lagi.
“Rata-rata kehidupan mereka di bawah garis kemiskinan. Harapannya ada revisi UU Nomor 15 Tahun 2012 tentang Veteran, supaya hak-hak terutama veteran perdamaian juga diperhatikan,” kata Romadhon.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!