
Pentingnya Keberlanjutan Ekonomi Berbasis Local Wisdom
Ketidakpastian ekonomi, khususnya yang berasal dari faktor eksternal, sering kali menjadi tantangan yang dihadapi oleh berbagai negara. Di Indonesia, hal ini tidak selalu membawa kecemasan atau pesimisme terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Sebaliknya, pemerintah dan masyarakat telah menunjukkan kemampuan untuk mengelola situasi dengan pendekatan yang tepat.
Salah satu strategi utama yang digunakan adalah menjaga permintaan domestik. Dengan memperkuat sektor dalam negeri, perekonomian bisa tetap stabil bahkan ketika kondisi global sedang tidak pasti. Hal ini dibuktikan oleh Indonesia yang berhasil melewati berbagai krisis ekonomi global, termasuk melalui penggunaan local wisdom sebagai solusi.
Menurut Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Purbaya Yudhi Sadewa, local wisdom bukanlah konsep baru. Konsep ini sudah diperkenalkan jauh sebelum Indonesia merdeka oleh Profesor Soemitro Djojohadikusumo pada tahun 1943. Menurutnya, Soemitro mengenalkan trilogi pembangunan yang terdiri dari tiga pilar utama: pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerataan manfaat pembangunan, serta stabilitas nasional yang dinamis.
Dalam trilogi tersebut, Soemitro menekankan pentingnya stabilitas perbankan. Ia belajar dari pengalaman The Great Depression di Amerika Serikat dan dampaknya terhadap perekonomian Indonesia. Dengan menggunakan pendekatan Soemitronomics, Indonesia telah membuktikan bahwa local wisdom mampu mengurangi dampak krisis ekonomi global.
Contohnya, saat krisis ekonomi global tahun 2008 yang disebabkan oleh subprime mortgage di AS, ekonomi Indonesia cepat pulih karena fokus pada permintaan domestik. Kebijakan yang diambil pada masa itu cukup tepat, dengan menjaga likuiditas melalui pertumbuhan uang beredar. Situasi yang sama juga terjadi saat pandemi Covid-19 pada 2020 hingga 2021. Meskipun kondisi sangat sulit, pemerintah mampu merespons dengan kebijakan yang sesuai, sehingga Indonesia bisa keluar dari resesi dan kembali tumbuh positif seperti pada 2009 dengan pertumbuhan sebesar 4,6 persen.
Purbaya menyatakan bahwa kebijakan yang diambil pada masa pandemi didasarkan pada pemahaman yang baik tentang pentingnya menjaga permintaan domestik. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia semakin memahami cara menghadapi krisis dengan pendekatan lokal.
Namun, tidak semua krisis dapat dilalui dengan baik. Pada krisis moneter tahun 1997–1998, respons kebijakan yang diambil terlihat tidak konsisten. Suku bunga naik hingga 80 persen, sementara uang beredar tumbuh lebih dari 100 persen. Akibatnya, pelaku usaha enggan meminjam dari bank, sementara uang beredar yang melimpah justru digunakan untuk menyerang nilai tukar rupiah.
Dari tiga krisis tersebut, Purbaya menjelaskan bahwa dua di antaranya, yaitu krisis global 2008 dan pandemi Covid-19, berhasil dilalui dengan pendekatan local wisdom. Sementara krisis 1998 memberi dampak yang lebih dalam karena menggunakan resep dari luar.
Ia menegaskan bahwa Indonesia memiliki modal besar untuk menghadapi krisis, asalkan dikelola dengan baik. Fokus pada diri sendiri dan memanfaatkan permintaan domestik adalah langkah yang efektif untuk menjaga stabilitas ekonomi. Dengan demikian, keberlanjutan ekonomi nasional akan terus terjaga meski dihadapkan pada berbagai tantangan.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!