
Dampak Kebijakan Fiskal Agresif terhadap Sektor Keuangan dan Perekonomian
Chief Economist Bank Syariah Indonesia (BSI), Banjaran Surya Indrastomo, memberikan analisis mengenai kebijakan fiskal agresif yang diambil oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Menurutnya, langkah tersebut akan memiliki dampak signifikan dalam jangka pendek terhadap sektor keuangan dan perekonomian secara keseluruhan.
Salah satu contohnya adalah injeksi likuiditas melalui Saldo Anggaran Lebih (SAL) yang dialokasikan ke bank-bank pelat merah dengan total sebesar Rp 200 triliun. Banjaran menilai bahwa penggunaan SAL ini akan berdampak pada penurunan biaya dana perbankan lebih cepat. Hal ini dapat meningkatkan kesehatan margin perbankan karena beban biaya yang ditransmisikan ke kredit atau pembiayaan akan lebih rendah.
Sebelumnya, ketidakcocokan sering terjadi antara kebijakan BI rate yang turun dengan biaya dana perbankan yang tidak langsung turun. Namun, dengan adanya tambahan likuiditas, tekanan tersebut diyakini akan berkurang. Selain itu, imbal hasil surat utang pemerintah masih dipengaruhi oleh interest rate differential, yaitu perbedaan suku bunga dibandingkan negara-negara peer di kawasan emerging market maupun ASEAN. Indonesia dinilai masih memiliki posisi yang cukup tinggi.
Menurut Banjaran, seiring penurunan BI rate, yield obligasi akan ikut turun, sehingga mendorong rekalibrasi portofolio ke tenor lebih panjang. Hal ini diyakini akan memperbaiki kurva imbal hasil (yield curve) Indonesia yang sempat mengalami inversi, di mana obligasi jangka pendek lebih menarik daripada jangka panjang.
Selain itu, Credit Default Swap (CDS) Indonesia lebih dipengaruhi faktor defisit fiskal. Karena ekonomi Indonesia bersifat fiskal-driven, maka langkah Kemenkeu memiliki pengaruh besar. Strategi yang diambil oleh Purbaya juga bisa dibandingkan dengan program Troubled Asset Relief Program (TARP) era Hank Paulson di AS. Saat itu, Departemen Keuangan AS memberikan likuiditas untuk menopang sektor keuangan yang kehilangan kepercayaan pasca-krisis Lehman Brothers.
Namun, konteks Indonesia berbeda. Isu utamanya bukan likuiditas, tetapi bagaimana meningkatkan permintaan pembiayaan produktif. Dunia usaha masih mencari peluang ekspansi. Dalam kerangka ini, SAL berperan sebagai bumper likuiditas. Besarannya biasanya berkisar antara 1%–3% dari PDB, tergantung pada tingkat volatilitas dan ketidakpastian.
Persepsi Investor Asing
Pasca dilantiknya Banjaran, terjadi pergerakan antara CDS dan indikator aliran modal lainnya yang tidak selaras. Selama periode 8 hingga 11 September terjadi capital outflow sebesar Rp 13,24 triliun. Meski dana asing keluar, risiko investasi justru tercatat turun. Terlihat dari CDS lima tahun per 11 September 2025 yang mencapai 69,04 bps, turun dari 4 September 2025 sebesar 69,55 bps.
Banjaran melihat hal tersebut wajar. Ia menjelaskan bahwa persepsi risiko jangka menengah-panjang terhadap Indonesia masih cukup terjaga. Hal ini didukung oleh fundamental makro yang solid, seperti defisit fiskal yang terkendali, cadangan devisa yang tetap tinggi, dan rasio utang terhadap PDB yang masih terjaga.
Namun, di sisi lain, asing mencatat net sell sebesar Rp 13,24 triliun di pasar saham dan Surat Berharga Negara (SBN). Ini lebih banyak dipengaruhi oleh sentimen negatif jangka pendek akibat ketidakpastian dan dinamika kondisi politik dalam negeri di akhir-akhir ini.
Stimulus Ekonomi dan Perspektif Investor
Di tengah kondisi tersebut, pemerintah menyiapkan paket stimulus ekonomi yang dibahas oleh Presiden bersama Menkeu dan jajaran menteri terkait. Rencana stimulus mencakup perluasan insentif pajak penghasilan ditanggung pemerintah (PPh DTP) ke berbagai sektor, bantuan pangan, jaminan ketenagakerjaan, fasilitas pembiayaan perumahan, hingga bantuan tunai langsung.
Langkah ini diharapkan dapat menjaga daya beli, mendukung konsumsi rumah tangga, dan mengurangi tekanan eksternal sehingga stabilitas makro tetap terjaga meskipun terjadi gejolak pasar.
Investor di pasar fixed income dinilai masih mencermati kebijakan-kebijakan yang akan diimplementasikan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Jika sejumlah sentimen positif, seperti pengumuman paket stimulus ekonomi segera dilaksanakan, keyakinan investor untuk kembali masuk ke Indonesia meningkat dan mempengaruhi permintaan instrumen fixed income dalam negeri.
Akhirnya, pada akhir suku bunga SBN 10 tahun diperkirakan bisa turun ke bawah 6%, di bawah yield saat ini sebesar 6,33%.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!