
Desakan untuk Segera Mengesahkan RUU Perampasan Aset
Pengamat hukum dan pembangunan, Hardjuno Wiwoho, mengingatkan DPR RI agar segera menyelesaikan RUU Perampasan Aset tanpa harus menunggu rakyat marah. Menurutnya, situasi sosial dan psikologis masyarakat saat ini sangat rentan terhadap ketidakpuasan akibat penegakan hukum yang lemah terhadap para pelaku korupsi. Ia menilai bahwa ketidakpekaan dari para anggota legislatif dapat memicu gejolak sosial.
Kondisi ini bisa berkembang menjadi krisis sosial yang lebih dalam jika negara terus menunjukkan ketidakseriusan dalam menangani masalah-masalah mendasar. Hardjuno menyampaikan pernyataannya di Jakarta, Jumat (12/9), dengan mengacu pada beberapa contoh negara seperti Nepal, Sri Lanka, dan Chile, di mana kemarahan publik terhadap elite yang tidak berubah bisa meledak kapan saja.
Ia menilai bahwa kebijakan DPR yang masih fokus pada proses administratif menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam membaca kebutuhan dan perasaan rakyat. Pernyataan ini merujuk pada pernyataan Ketua Baleg DPR Bob Hasan yang menyebutkan bahwa usulan RUU Perampasan Aset baru akan masuk ke Prolegnas Prioritas 2025 dan menunggu keputusan rapat paripurna.
Korupsi sebagai Biang Kerok Masalah
Hardjuno menekankan bahwa korupsi menjadi penyebab utama berbagai masalah yang terjadi di Indonesia saat ini. Jika para pelaku korupsi tidak ditangani, hal ini akan semakin memperparah perkembangan negara. Korupsi, menurutnya, menghambat pertumbuhan ekonomi, menurunkan investasi, meningkatkan tingkat kemiskinan, serta melemahkan kepercayaan publik terhadap lembaga negara.
Akibatnya, anggaran negara dan masyarakat menjadi terbebani, kualitas pelayanan publik menurun, dan kesenjangan sosial semakin melebar. Hal ini menghambat upaya Indonesia untuk bertransformasi menjadi negara maju. Menurut Hardjuno, tindakan koruptor telah menciptakan bencana sosial di tengah masyarakat. Oleh karena itu, ia meminta agar stop dan hentikan wacana soal RUU Perampasan Aset.
Negara Harus Memiskinkan Koruptor
Dalam pandangannya, substansi dari RUU Perampasan Aset tidak boleh hanya terbatas pada prosedur teknis penyitaan. RUU ini harus dilihat sebagai langkah awal dalam strategi nasional pemiskinan koruptor—bukan hanya mengambil aset yang terbukti hasil korupsi, tetapi juga memberlakukan sistem illicit enrichment terhadap kekayaan tak wajar.
Hardjuno menekankan bahwa RUU ini harus disertai keberanian moral untuk memiskinkan koruptor secara sistemik. Ia menegaskan bahwa RUU Perampasan Aset hanya boleh digunakan untuk tindak pidana kelas berat seperti mega-korupsi dan kejahatan terorganisir, dengan ambang batas kerugian negara minimal Rp 1 triliun.
Di luar itu, negara perlu membuat mekanisme pemiskinan koruptor berbasis pembuktian terbalik—di mana siapa pun yang tak bisa menjelaskan asal harta kekayaannya, wajib disita melalui proses hukum.
Jangan Lagi Menipu Publik
Menurut Hardjuno, selama ini negara sering menggunakan alasan perlu UU baru. Padahal banyak regulasi yang sudah ada dan memungkinkan perampasan dan pemiskinan koruptor, seperti UU Tipikor, UU TPPU, KUHAP, hingga putusan MK. Ia menilai bahwa UU-nya sudah ada semua, namun implementasinya sering tidak maksimal.
Ia menegaskan bahwa kehadiran RUU Perampasan Aset bukan berarti membatalkan peran undang-undang yang sudah ada sebelumnya. Sebaliknya, RUU ini dibutuhkan untuk menambal celah, mempertegas prosedur, dan memperluas efektivitas hukum yang selama ini tidak dijalankan dengan konsisten.
Hardjuno menilai bahwa RUU ini harus dibaca sebagai bagian dari strategi penguatan instrumen hukum yang sudah lama disia-siakan negara. Ia menekankan bahwa UU Tipikor dan TPPU memberi dasar, tapi implementasinya terbatas dan sering tidak maksimal. RUU Perampasan Aset harus hadir bukan untuk menggantikan, tapi untuk mempertegas, mempercepat, dan memperluas upaya pemiskinan terhadap pelaku kejahatan ekonomi berat.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!