
Peran Generasi Muda dalam Melestarikan Budaya dan Lingkungan
Kehidupan masyarakat adat Iban di pedalaman Kalimantan Barat kini semakin menarik perhatian, tidak hanya melalui ritual dan tradisi yang turun-temurun, tetapi juga lewat karya-karya kreatif dari generasi muda. Hal ini terlihat jelas dalam acara Kolase Jurnalis Camp (KJC) 2025, sebuah pertemuan lintas profesi yang menjadi ruang diskusi tentang pentingnya menjaga budaya sekaligus melestarikan alam.
Salah satu tokoh yang menarik perhatian adalah Kynan Tegar, seorang sutradara muda Dayak Iban yang dikenal melalui film dokumenternya Indai Apai Darah dan Earth Defender. Dalam sesi nonton bareng di Pontianak, ia menyampaikan motivasinya untuk membuat film.
“Sejak kecil saya sering menonton TV, tapi tidak pernah melihat orang-orang Iban. Karena itu saya membuat film, agar cerita kami hadir di layar dari perspektif kami sendiri,” ujarnya dengan penuh semangat.
Kynan menekankan bahwa masyarakat adat bukan sekadar romantisme masa lalu. Menurutnya, menjadi masyarakat adat bukan karena tidak ada listrik atau sinyal. Yang lebih penting adalah bagaimana menjaga hubungan timbal balik dengan alam.
Selain Kynan, ada juga Paskalia Wandira, seorang kreator konten asal Kapuas Hulu yang memilih media sosial sebagai sarana memperkenalkan budaya Dayak Iban. Ia ingin generasi muda tahu bahwa mereka pun memiliki kekayaan budaya yang harus dilestarikan.
“Saya banyak mengangkat tradisi tenun Iban yang kaya makna, mulai dari motif terinspirasi alam hingga proses pewarnaan alami dari hutan,” katanya. Meski begitu, perjuangannya tidak mudah. Di kampungnya tidak ada sinyal internet, sehingga kadang butuh seminggu hanya untuk mengunggah satu konten.
Diskusi ini dipandu oleh Cornila Desyana, Partnership Manager Ashoka, yang menilai karya Kynan dan Paskalia sebagai contoh kreativitas generasi muda dalam menyuarakan isu lingkungan.
Sementara itu, jurnalis senior Daeng Rizal memberikan catatan penting. Ia menyoroti filosofi hidup Iban—sungai adalah darah, tanah adalah daging, udara adalah napas, dan hutan adalah ibu—yang kini dibawa ke publik lewat media digital.
Daeng juga mengingatkan tantangan jurnalisme lingkungan di era digital. Jika dulu jurnalis menghadapi intimidasi fisik, kini mereka berhadapan dengan strategi branding perusahaan yang kerap menutupi kerusakan lingkungan.
Kynan menutup sesi dengan pesan kuat tentang hubungan manusia dan alam.
“Kalau kita mengambil sesuatu dari hutan, kita harus memberi balik. Krisis iklim hari ini adalah akibat dosa kita pada alam. Itu yang ingin saya sampaikan lewat film,” ujarnya.
Melalui KJC 2025, para peserta menyadari bahwa media, film, dan konten digital bukan sekadar hiburan, melainkan senjata ampuh untuk membangun kesadaran kolektif.
“Keragaman hayati adalah kekuatan kita bersama. Peran media, terutama yang digerakkan anak muda, menjadi kunci menjaga warisan tersebut,” tutup Cornila.
Kisah Kynan dan Paskalia menjadi pengingat: perjuangan menjaga budaya dan lingkungan tidak hanya dilakukan di hutan, tapi juga di layar digital yang menjangkau dunia. Mereka membuktikan bahwa suara masyarakat adat bisa didengar, bahkan di tengah perkembangan teknologi yang pesat.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!