
Penolakan Terhadap Kebijakan Royalti Musik di Angkutan Umum
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Organisasi Angkutan Darat (Organda) Jakarta, Shafruhan Sinungan, menyampaikan pandangan bahwa kebijakan pemungutan royalti atas pemutaran musik di angkutan umum, khususnya bus, tidak tepat dan perlu dipertimbangkan ulang. Menurutnya, aturan tersebut justru dapat memberatkan pengemudi dan operator angkutan.
"Menurut saya, penerapan royalti musik di angkutan umum tidak sesuai. Aturan ini sebaiknya dikaji ulang karena bisa memberatkan para pengemudi," ujarnya saat dihubungi beberapa waktu lalu.
Shafruhan menjelaskan bahwa biaya royalti musik akan meningkatkan biaya operasional perusahaan angkutan. Hal ini berpotensi memicu kenaikan harga tiket yang akan dialami oleh penumpang. Ia menegaskan bahwa hingga saat ini belum ada anggota Organda yang ditagih atau dituntut royalti musik oleh lembaga terkait.
"Belum ada kasus yang dilaporkan. Namun, kami khawatir jika tiba-tiba muncul tagihan royalti. Ini bisa menjadi masalah yang lebih rumit," katanya.
Selain itu, ia mengatakan bahwa belum pernah menerima sosialisasi resmi dari pihak terkait mengenai kebijakan ini. "Kami baru mengetahui informasi ini setelah ramai dibicarakan dalam media."
Tindakan Antisipatif dari Sejumlah Perusahaan Angkutan
Sebagai respons terhadap kebijakan tersebut, sejumlah perusahaan angkutan bus di Indonesia memutuskan untuk menghentikan sementara pemutaran musik di dalam armadanya. Langkah ini diambil sebagai upaya antisipatif untuk menghindari tuntutan pembayaran royalti yang bisa berdampak pada kenaikan tarif tiket.
Beberapa perusahaan besar yang telah mengumumkan kebijakan ini antara lain PT SAN Putra Sejahtera (PO SAN), PT Haryanto Motor Indonesia (PO Haryanto), dan PO Gunung Harta. Manajemen masing-masing perusahaan menegaskan bahwa keputusan ini diambil demi menjaga kenyamanan penumpang.
Dasar Hukum yang Mengatur Royalti Musik
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik, disebutkan bahwa layanan publik yang bersifat komersial seperti bus, pesawat, restoran, bazar, pameran, dan lainnya wajib membayar royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta, atau pemilik hak terkait melalui Lembaga Manajemen Kekayaan Intelektual Nasional (LMKN). PP ini merupakan aturan turunan dari Undang-undang Hak Cipta.
Aturan ini bertujuan untuk melindungi hak cipta para pencipta musik dan memastikan mereka mendapatkan penghargaan sesuai dengan kontribusi mereka. Namun, bagi sejumlah pelaku usaha angkutan, aturan ini dinilai tidak realistis dan bisa mengganggu operasional bisnis.
Pertanyaan dan Keberatan dari Pelaku Usaha
Pertanyaan utama yang muncul adalah apakah kebijakan ini benar-benar diperlukan, terlebih ketika banyak pelaku usaha masih merasa tidak siap secara finansial maupun administratif. Selain itu, pertanyaan juga muncul tentang bagaimana mekanisme penerapan royalti ini dilakukan dan apakah ada alternatif yang lebih efektif.
Beberapa ahli hukum dan ekonom mengatakan bahwa kebijakan ini harus diimbangi dengan edukasi dan persiapan yang matang agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap industri angkutan. Mereka menyarankan agar pemerintah melakukan evaluasi terhadap implementasi aturan ini dan mempertimbangkan skala usaha serta kemampuan finansial pelaku usaha.
Kesimpulan
Kebijakan royalti musik di angkutan umum memicu berbagai reaksi dari pelaku usaha dan organisasi terkait. Meskipun tujuan dari aturan ini adalah untuk melindungi hak cipta, implementasinya masih memerlukan penyesuaian agar tidak memberatkan pelaku usaha. Diperlukan dialog yang lebih intensif antara pemerintah, pelaku usaha, dan lembaga terkait untuk mencari solusi yang seimbang dan berkelanjutan.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!