
Tantangan Anggaran Pendidikan di Indonesia
Tahun anggaran 2026 kembali menimbulkan kekhawatiran serius bagi sektor pendidikan di Indonesia. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) yang dipimpin oleh Abdul Mu’ti hanya mendapatkan tambahan anggaran sebesar Rp400 miliar dari usulan awal sebesar Rp52,9 triliun. Jumlah ini dinilai sangat jauh dari kebutuhan riil kementerian dalam menjalankan program prioritas.
Keterbatasan Anggaran dan Dampaknya pada Guru Non-ASN
Keterbatasan tambahan anggaran ini menimbulkan kekhawatiran besar, terutama bagi guru non-ASN. Sebagian usulan anggaran yang belum disetujui menyangkut program tunjangan profesi dan insentif bagi mereka. Hal ini berarti kesejahteraan guru non-ASN, yang selama ini menjadi tulang punggung pendidikan di banyak sekolah, berpotensi terganggu.
Mendikdasmen menegaskan bahwa meskipun anggaran utama mencapai Rp55,4 triliun, pihaknya masih kekurangan sekitar Rp52,5 triliun untuk memenuhi kebutuhan nyata di lapangan. Dari perluasan Program Indonesia Pintar (PIP), penambahan insentif guru, hingga perbaikan satuan biaya pendidikan, sebagian besar program strategis terancam tidak berjalan optimal.
Usulan Anggaran yang Jauh dari Harapan
Pada rapat kerja dengan Komisi X DPR pada 15 September 2025, Abdul Mu’ti menyampaikan bahwa tambahan anggaran sebesar Rp400 miliar hanya menutup sebagian kecil dari total kebutuhan. Padahal, usulan sebesar Rp52,9 triliun bukan tanpa alasan. Beberapa poin penting dalam usulan tambahan tersebut meliputi:
- Perluasan PIP jenjang TK hingga SMP dengan tambahan alokasi Rp2,7 triliun.
- Penyesuaian satuan biaya operasional di tingkat SD dan SMP agar sesuai dengan inflasi dan kebutuhan riil sekolah.
- Tambahan tunjangan profesi serta insentif untuk guru non-ASN yang hingga kini masih menghadapi kesenjangan kesejahteraan.
Sayangnya, sebagian besar usulan tersebut tidak masuk dalam tambahan anggaran yang disetujui Panja Belanja Pemerintah Pusat DPR RI.
Pagu Definitif Kemendikdasmen 2026
Sebelum tambahan, Kemendikdasmen mendapatkan pagu definitif sebesar Rp55 triliun. Setelah pembahasan bersama DPR pada 11 September 2025, kementerian menerima tambahan Rp400 miliar sehingga total anggaran menjadi Rp55,4 triliun. Meski nominalnya terlihat besar, Abdul Mu’ti menekankan bahwa angka tersebut masih jauh dari kebutuhan riil. Dengan jumlah murid, sekolah, serta tenaga pendidik yang terus bertambah setiap tahun, dana pendidikan harus mampu menutup biaya peningkatan kualitas sekaligus pemerataan akses.
Dampak Langsung Bagi Guru Non-ASN
Salah satu dampak paling nyata dari minimnya tambahan anggaran adalah kemungkinan tertundanya pemberian tunjangan profesi dan insentif bagi guru non-ASN. Padahal, peran mereka sangat vital, terutama di daerah yang kekurangan guru PNS maupun PPPK. Guru non-ASN kerap menghadapi kondisi kerja yang tidak menentu, mulai dari gaji rendah, beban kerja berat, hingga minimnya fasilitas. Jika tunjangan yang diusulkan tidak dapat terealisasi, maka ketimpangan kesejahteraan antara guru ASN dan non-ASN akan semakin melebar. Kondisi ini dikhawatirkan berimbas pada motivasi mengajar dan kualitas pendidikan di sekolah.
Program Prioritas Lain yang Belum Terpenuhi
Selain tunjangan guru non-ASN, sejumlah program lain juga terancam tak terdanai akibat keterbatasan tambahan anggaran:
- Perluasan PIP untuk jenjang TK – program ini diharapkan mampu memperluas akses pendidikan anak usia dini, namun tambahan Rp2,7 triliun yang dibutuhkan belum tersedia.
- Kenaikan satuan biaya SD dan SMP – sekolah di banyak daerah mengeluhkan dana BOS yang tidak lagi sesuai dengan kebutuhan operasional, apalagi dengan meningkatnya harga barang dan jasa.
- Peningkatan sarana prasarana pendidikan – mulai dari digitalisasi sekolah, penyediaan perangkat pembelajaran, hingga perbaikan infrastruktur dasar.
Jika tidak segera diatasi, sebagian besar program yang berkaitan langsung dengan kualitas layanan pendidikan akan berjalan setengah hati.
Reaksi DPR dan Publik
Komisi X DPR mengakui keterbatasan kemampuan anggaran negara. Namun, sejumlah anggota dewan menekankan pentingnya memberi prioritas lebih besar untuk sektor pendidikan. Publik juga ikut menyoroti, mengingat anggaran pendidikan sejatinya diamanatkan minimal 20 persen dari APBN sesuai UUD 1945.
Kekecewaan juga banyak datang dari kalangan guru non-ASN. Melalui organisasi profesi, mereka menilai pemerintah belum sepenuhnya menghadirkan keadilan dalam distribusi anggaran. Guru non-ASN merasa kontribusi mereka besar, namun penghargaan yang diterima belum sepadan.
Tantangan Menuju RAPBN 2026
Dengan tambahan anggaran hanya Rp400 miliar, Kemendikdasmen harus memutar otak untuk menyesuaikan prioritas program. Pilihan sulit harus dibuat: antara menunda sebagian program atau menjalankan dengan alokasi terbatas. Abdul Mu’ti berharap ada peluang penyesuaian pada pembahasan RAPBN berikutnya agar sektor pendidikan tidak dikorbankan. Ia menegaskan, investasi pendidikan tidak bisa ditunda karena akan berpengaruh besar terhadap kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa depan. Minimnya tambahan anggaran untuk Kemendikdasmen pada tahun anggaran 2026 menimbulkan kekhawatiran serius. Dari Rp52,9 triliun yang diusulkan, hanya Rp400 miliar yang disetujui, sehingga kebutuhan riil sebesar Rp52,5 triliun masih menggantung. Situasi ini berpotensi membuat tunjangan guru non-ASN, perluasan PIP, serta penyesuaian biaya sekolah tidak dapat berjalan maksimal. Jika tidak ada solusi, maka guru non-ASN akan kembali menjadi pihak paling terdampak, padahal mereka berperan penting dalam menopang pendidikan nasional. Kabar ini seharusnya menjadi perhatian serius semua pihak, baik pemerintah maupun DPR, agar alokasi anggaran pendidikan benar-benar berpihak pada kebutuhan riil di lapangan, bukan sekadar formalitas pemenuhan angka dalam APBN.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!