
Penolakan Amartha terhadap Tuduhan Kartel Bunga Pinjaman
PT Amartha Mikro Fintek (Amartha) secara tegas menolak tuduhan yang diajukan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terkait dugaan pembentukan kartel bunga pinjaman dalam layanan fintech pendanaan (P2P lending) pada periode 2020 hingga 2023. Perusahaan menyatakan bahwa batas bunga yang ditetapkan merupakan hasil dari perjanjian dan kepatuhan terhadap arahan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Kuasa Hukum Amartha, Harry Rizki Perdana, menjelaskan bahwa Amartha berbeda dengan jenis pinjaman konsumtif. Sejak tahun 2018 hingga 2023, Amartha konsisten menerapkan bunga sekitar 2% per bulan. Hal ini disampaikan dalam sidang Perkara Nomor 05/KPPU-I/2025 di Jakarta.
Dalam perkara ini, investigator KPPU menduga adanya dugaan kartel bunga pinjaman berdasarkan Pedoman Perilaku (Code of Conduct) Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Pedoman tersebut mengatur batas atas bunga pinjaman P2P lending sebesar 0,8% per hari, kemudian diturunkan menjadi 0,4% per hari pada 2021. Investigator menilai aturan ini sebagai bentuk kesepakatan harga (price fixing).
Namun, Harry menolak pandangan tersebut. Menurutnya, pedoman Perilaku AFPI tidak bisa dijadikan dasar bukti perjanjian kartel. Pedoman itu disusun sebagai bentuk kepatuhan terhadap Peraturan OJK Nomor 77/2016 dan hasil collective action AFPI bersama OJK untuk menutup celah regulasi dalam melindungi konsumen dari praktik pinjaman online ilegal dan tidak etis.
“Pedoman Perilaku AFPI disusun sesuai arahan surat edaran OJK saat itu, yang salah satu poinnya adalah larangan bagi para anggota AFPI untuk melakukan predatory lending,” ujar Harry.
Menurut dia, penetapan batas atas suku bunga dalam pedoman tersebut bukan berarti adanya kewajiban penyeragaman harga. Setiap anggota AFPI tetap dapat menentukan bunga secara mandiri. Adapun perusahaan sejak berdiri 15 tahun lalu konsisten fokus pada pembiayaan produktif bagi usaha ultra mikro dan UMKM, khususnya perempuan di pedesaan.
“Sebagai contoh, Amartha konsisten menerapkan suku bunga sekitar 2% per bulan sejak 2018 sampai dengan 2023. Artinya, Amartha tidak mengikuti batas maksimum yang ditetapkan dalam Pedoman Perilaku AFPI karena tingkat bunganya jauh di bawah itu,” tambah Harry.
Selain itu, Harry menekankan bahwa struktur pasar fintech lending di Indonesia tidak menunjukkan pola oligopoli yang dapat menjadi prasyarat terbentuknya kartel. Merujuk data KPPU, empat besar pemain P2P lending hanya menguasai total pangsa pasar sekitar 40%.
“Berdasarkan data ini, struktur pasar fintech lending Indonesia lebih mendekati kategori persaingan efektif. Lagipula, jumlah perusahaan yang menjadi terlapor sangat banyak, 97 perusahaan. Bagaimana mungkin membuat kesepakatan kalau pemainnya sangat banyak,” ujarnya.
Penekanan pada Prinsip Persaingan yang Sehat
Amartha juga menekankan bahwa prinsip persaingan yang sehat harus menjadi landasan dalam pengembangan industri fintech. Perusahaan percaya bahwa setiap pelaku usaha memiliki hak untuk menentukan tarif bunga sesuai dengan risiko dan model bisnis masing-masing.
Tidak hanya itu, Amartha menyatakan bahwa kebijakan bunga yang diterapkan selama ini telah memberikan manfaat nyata bagi masyarakat, khususnya pelaku usaha kecil dan menengah. Dengan bunga yang terjangkau, mereka dapat memperluas usaha dan meningkatkan kualitas hidup.
Perusahaan juga menegaskan bahwa upaya mereka dalam memberikan layanan keuangan yang inklusif dan berkelanjutan tidak akan terganggu oleh isu-isu yang tidak berdasar. Amartha akan terus berkomitmen untuk membangun kepercayaan masyarakat melalui transparansi dan keadilan dalam setiap layanan yang diberikan.
Dengan demikian, Amartha yakin bahwa tuntutan dari KPPU tidak memiliki dasar yang kuat dan akan segera diproses dengan prosedur yang benar dan adil.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!