
Ekonomi Tiongkok Melambat di Akhir Tahun 2025, Pemerintah Dipertanyakan
Pada Agustus 2025, aktivitas ekonomi Tiongkok mengalami penurunan yang signifikan. Hal ini terlihat dari turunnya investasi dan konsumsi yang tidak stabil, yang memicu berbagai spekulasi tentang kemungkinan pemerintah akan mengambil langkah-langkah stimulus tambahan untuk menjaga target pertumbuhan nasional.
Data yang dirilis oleh Biro Statistik Nasional Tiongkok menunjukkan bahwa output industri hanya tumbuh sebesar 5,2% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Angka ini merupakan yang terendah sejak Agustus 2024. Sementara itu, penjualan ritel naik sebesar 3,4% secara tahunan, yang lebih rendah dari ekspektasi sebesar 3,8%. Angka ini juga melambat dibandingkan dengan pertumbuhan sebesar 3,7% pada Juli 2025.
Investasi aset tetap selama Januari hingga Agustus 2025 nyaris stagnan dengan kenaikan hanya sebesar 0,5%, yang merupakan angka terburuk sejak 2020. Imbal hasil obligasi pemerintah tenor 30 tahun turun dua basis poin menjadi 2,16%, mengindikasikan spekulasi bahwa bank sentral mungkin perlu melonggarkan kebijakan moneter. Namun, indeks saham acuan CSI 300 masih menguat sebesar 0,7%.
Carlos Casanova, ekonom senior Asia di Union Bancaire Privée, Hong Kong, menyatakan bahwa data tersebut mengonfirmasi perlambatan tajam pada paruh kedua 2025, terutama di sisi investasi. Setelah mencatat pertumbuhan sebesar 5,3% pada semester pertama 2025, ekonomi Tiongkok diperkirakan akan melambat pada paruh kedua akibat meredanya lonjakan ekspor. Perlambatan ini akan berdampak besar bagi perekonomian global yang juga sedang tertekan oleh tarif Presiden AS Donald Trump.
Beberapa sektor yang mencatat kontraksi investasi pada Agustus antara lain farmasi, mesin, bahan kimia dasar, pendidikan, dan layanan kesehatan. Tingkat pengangguran perkotaan meningkat menjadi 5,3%. Meski demikian, kinerja solid pada awal tahun membuat pemerintah yakin bahwa target pertumbuhan sekitar 5% tetap dapat tercapai, bahkan dengan perlambatan lebih dalam pada akhir tahun.
Hingga saat ini, Beijing belum menunjukkan tanda-tanda akan meluncurkan stimulus besar, mengandalkan ketahanan ekspor di tengah perang dagang jilid dua dengan AS. NBS menegaskan bahwa Tiongkok harus fokus menstabilkan lapangan kerja, dunia usaha, pasar, dan ekspektasi. Lembaga tersebut juga menyoroti masih banyaknya ketidakpastian eksternal yang menimbulkan risiko bagi ekonomi domestik.
Tantangan baru pun muncul. Pertumbuhan kredit melambat untuk pertama kalinya tahun ini, ekspor hanya naik sebesar 4,4% pada Agustus, sementara survei menunjukkan pasar tenaga kerja melemah. Selain itu, kampanye “anti-involution” pemerintah yang bertujuan mengurangi kelebihan kapasitas dan persaingan berlebihan sejak Juli ikut menekan produksi baja hingga tembaga.
Meski pasar saham sempat terdorong ekspektasi bahwa kebijakan tersebut akan memulihkan profitabilitas, langkah tersebut berpotensi menekan lapangan kerja dan konsumsi tanpa adanya stimulus besar untuk mendorong permintaan.
Charu Chanana, Chief Investment Strategist Saxo Markets di Singapura, mengatakan rilis data Agustus Tiongkok tidak terlalu menggembirakan dengan ekspor masih tertekan tarif dan sektor properti menekan permintaan domestik. "Namun pasar tampak mengabaikannya, dengan rumah tangga kaya beralih ke saham dan momentum AI yang mendorong reli saham chip," ujarnya.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!