
Lima Isu Utama yang Perlu Dibahas dalam RUU Perampasan Aset
Koalisi Sipil telah mengusulkan lima isu utama yang perlu mendapat perhatian khusus dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Usulan ini disampaikan melalui keterangan resmi yang dikeluarkan pada Rabu, 10 September 2025. Sebanyak tujuh lembaga swadaya masyarakat turut serta dalam koalisi ini, antara lain Indonesia Corruption Watch (ICW), Auriga Nusantara, Institute for Criminal Justice Reform, IM57+Institute, Kaoem Telapak, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), serta Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulawarma.
Kualifikasi Aparat Penegak Hukum dan Lembaga Pengelola Aset
Isu pertama yang menjadi perhatian utama adalah kualifikasi aparat penegak hukum dan lembaga pengelola aset. Menurut koalisi, kekuasaan Kejaksaan sebagai lembaga pengelola aset masih menjadi perdebatan karena cakupannya terlalu luas, mencakup penyimpanan, pengamanan, pemanfaatan, hingga pengembalian aset. Oleh karena itu, perlu adanya jaminan pengawasan yang ketat terhadap pengelolaan aset oleh Kejaksaan agar nilai aset tidak mengalami perubahan yang terlalu drastis.
Aturan Unexplained Wealth Order
Isu kedua berkaitan dengan aturan unexplained wealth order atau harta yang tidak dapat dijelaskan sumbernya. Konsep ini merupakan dasar dari illicit enrichment atau pengayaan ilegal. Jika seorang pejabat publik memiliki harta yang melebihi pendapatannya dan tidak bisa menjelaskan asal usulnya, maka patut diduga bahwa harta tersebut berasal dari tindak pidana seperti suap atau gratifikasi.
Threshold Jumlah Aset yang Dapat Dirampas
Poin ketiga adalah tentang batas jumlah aset yang dapat dirampas. Berdasarkan Pasal 6 RUU Perampasan Aset yang berlaku per April 2023, aset yang dapat dirampas bernilai minimal Rp100.000.000 dan diancam dengan hukuman 4 tahun atau lebih. Batas ini penting untuk direvisi agar sesuai dengan kondisi inflasi, nilai ekonomis, dan faktor-faktor lainnya.
Mekanisme Upaya Paksa dan Pengawasan
Isu keempat adalah mekanisme upaya paksa dan pengawasan terhadap upaya paksa dalam RUU Perampasan Aset. Koalisi menilai bahwa mekanisme ini sangat berkaitan dengan upaya paksa yang dilakukan. Oleh karena itu, diperlukan sistem yang jelas dan transparan untuk memastikan prosesnya berjalan secara adil dan benar.
Sistem Pembuktian dalam RUU Perampasan Aset
Poin kelima adalah sistem pembuktian dalam RUU Perampasan Aset. Menurut koalisi, selama ini model pembuktian yang digunakan dalam non-conviction based asset forfeiture mengadopsi sistem dari hukum acara perdata. Untuk itu, RUU Perampasan Aset perlu mengadopsi sistem pembuktian terbalik. Hal ini dimaksudkan agar beban bukti tidak sepenuhnya bertumpu pada harta tersangka atau terdakwa, tetapi juga ada mekanisme untuk memastikan bahwa harta tersebut benar-benar milik sah dari tersangka atau terdakwa.
Partisipasi Masyarakat Sipil dalam Pembahasan RUU
Anggota koalisi sekaligus peneliti ICW, Wana Alamsyah, menegaskan bahwa DPR wajib mempertimbangkan partisipasi aktif masyarakat sipil dalam membahas RUU Perampasan Aset. DPR tidak boleh melakukan pembahasan tanpa melibatkan seluruh elemen masyarakat sipil. Selain itu, proses pembahasan harus dilakukan secara transparan dan tidak terburu-buru.
Ia juga menyarankan agar pembahasan RUU Perampasan Aset dilakukan bersamaan dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). Tujuan dari hal ini adalah untuk menghindari tumpang tindih aturan yang bisa menyebabkan ketidakpastian hukum. Beberapa pasal antara RUU Perampasan Aset dan RKUHAP saling berkaitan, terutama terkait kewenangan penegak hukum dan status aset hasil tindak pidana.
Proses Legislasi dan Target Penyelesaian
Pemerintah telah menyetujui RUU Perampasan Aset masuk dalam prolegnas prioritas tahun 2025. Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyampaikan hal ini dalam rapat kerja dengan Badan Legislasi DPR. Ketua Badan Legislasi DPR, Bob Hasan, menyatakan bahwa legislatif menargetkan pembahasan RUU Perampasan Aset akan selesai pada 2025. "KUHAP berlaku tahun depan, maka instrumen hukum lain seperti perampasan aset harus punya fondasi yang kokoh," ujar Bob dalam pernyataannya.
Ervana Trikanrinaputri dan Hendrik Yaputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!